Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/95

Halaman ini tervalidasi

Si ayah merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah dompet lusuh. Dia membuka dompet itu dan mengelurkan dua lembaran lima ribuan dari dalam dompet itu, serta dua lembar ribuan. Dia melipat dompet itu kembali dan merogoh kembali ke kantong lain yang ada di celananya. Terdengar suara gemerincing, aku rasa itu suara recehan. Recehan yang banyak. Dan tidak kuduga, dia mengeluarkan recehan itu, meletakkannya di atas meja, kemudian menghitungnya, satu per satu. Aku benar-benar heran, aku tertegun dan tidak bisa bicara apa-apa menyaksikan pemandangan itu.

"....dua ribu tujuh ratus..." kata si ayah pelan, lalu mengangkat kepalanya dan memandang Pak Budi. "Apa tidak bisa lebih kurang, Pak?" tanyanya.

Yang ditanya hanya menggeleng lemah dan di wajahnya terlihat ekspresi yang sulit dijelaskan, seperti kasihan atau semacamnya.

Aku melihat si anak. Dia memandangi ayahnya penuh harap, lalu menunduk, melihat lantai dan bilang, "Nggak usah aja, deh, Pak."

Bapak itu melihat anaknya dan dengan suara pelan berkata, "Tapi, kamu, kan, perlu."

"Nggak ada juga, nggak apa-apa," aku melihat anak itu memaksakan sebuah senyum tersungging di bibirnya.

Wajah bapak itu terlihat makin melunak, dia membelai-belai kepala anaknya dan juga memaksakan diri untuk tersenyum. Lalu dia kembali mengangkat kepalanya, menatap buku itu dengan penuh harap.

"Ya, sudah, kalau begitu, sekarang kita pulang saja." Bapak itu mengajak anaknya menjauh.

Sejenak aku terpana, memandangi buku berkulit hijau daun itu. Entah kenapa, tiba-tiba mulutku terbuka dan memanggil mereka kembali.

"Pak," aku dengan segera mengambil buku itu dari atas meja dan mengejar mereka. Mereka berhenti dan menatapku dengan heran. Dengan gugup aku menghampiri mereka.

"Pak, ini buku adik saya. Saya kebetulan terbeli dua kali dan katanya tidak bisa dikembalikan lagi, daripada mubazir lebih baik untuk anak Bapak. Sepertinya, adik ini memakai buku yang sama," kataku mengarang cerita.

83