Halaman:Kalimantan.pdf/152

Halaman ini tervalidasi

Untuk membantu Delegasi Militer R.I. dan pimpinan Divisi Lembung Mangkurat dalam hal membiajai anggauta-anggauta Divisi ini, maka di Bandjarmasin pada tanggal 30 September 1949 didirikan P.P.T.N.I. (Panitia Penolong Tentara Nasional Indonesia). Tugas dari panitia ini adalah mengumpulkan sumbangansumbangan itu adalah dengan perantaraan tjabang-tjabangnja jang berada dalam tiap-tiap ketjamatan. Delegasi Militer R.I. dan Pimpinan Div. Lembung Mangkurat menganggap, bahwa dengan djalan demikian supply dari anggauta-anggauta Divisi Lembung Mangkurat dapat diatur setjara centraal di Bandjarmasin. Dengan demikian dikeluarkanlah suatu peraturan jang melarang fihak Komando Onderdistrict Militer untuk mengumpulkan langsung sokongan-sokongan dari rakjat ditempatnja masing-masing. Dengan izin dari pihak P.P.T.N.I. Pusat mereka boleh pada waktu-waktu jang tertentu mengambil dari tjabangnja P.P.T.N.I. setempat uang dan bahan jang diperlukan untuk anggauta-anggauta Divisi Lembung Mangkurat jang berada dalam wilajahnja.

Bersamaan dengan diserahkannja Kedaulatan atas Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, oleh Pimpinan Angkatan Perang Pusat, Kalimantan didjadikan satu territorium, disebut Tentera dan Territorium VI, dengan Letnan Kolonel Sukanda Bratamenggala sebagai Panglima. Tentang Divisi Lembung Mangkurat dengan sendirinja ditiadakan dan Letnan Kolonel Hassan Basry, ditundjuk sebagai Komandan Sub Territorium Militer II (Brigade B) Kalimantan Selatan.

Berhubung makin lama makin bertambahnja kesulitan-kesulitan jang ditimbulkan akibat masih adanja suatu organisasi bersendjata jang tidak termasuk dalam kontrole dari Pimpinan ketenteraan di Kalimantan, diantaranja apa jang dinamakan „Divisi Tengkorak Putih” jang menjebabkan adanja kekatjauan, terutama disekitar Hulu Sungai, terdjadinja pentjulikan-pentjulikan dan pemerasan-pemerasan oleh anggauta „Tengkorak Putih” ini terhadap golongan-golongan rakjat, jang menurut istilah mereka, adalah bekas atau masih mendjadi kaki tangan dari kekuasaan Belanda.

Di Bandjarmasin kesulitan-kesulitan ini berwudjud penjerangan-penjerangan terhadap perseorangan, konvooi-konvooi dan asrama-asrama KNIL jang pada ketika itu masih ada di Bandjarmasin dan Pleihari. Akibat-akibat dari ini adalah timbulnja tindakan-tindakan pembalasan dari fihak KNIL jang dapat dianggap sangat merugikan rakjat dan TNI pada ketika itu.

Untuk mengatasi soal ini oleh Panglima TT. VI telah ditundjuk dua orang jang dianggap berpengaruh didaerah Selatan, tetapi pihak pertama dalam tindakannja sangat ragu-ragu, sedang jang kedua hanja mentjari kesempatan untuk memperluas pengaruhnja didaerah Bandjarmasin dan Kalimantan Timur Tenggara, jang sudah barang tentu ditindjau dari segi-segi militer sangat merugikan.

Disamping kesulitan-kesulitan dengan „Tengkorak Putih”, alat-alat Pemerintah waktu itu harus pula menghadapi pelbagai matjam pengatjauan lainnja. „Divisi Tengkorak Putih” memulai dalam propagandanja memakai istilah „murba” dan kemudian istilah ini selalu mendjadi mode untuk pengatjau-pengatjau lainnja.

Mereka jang diperintahkan untuk menjelesaikan soal „Tengkorak Putih” tidak memberi hasil jang diharapkan, maka disamping tindakan-tindakan keras, usaha penjelesaian setjara bidjaksana tidak dilupakan, usaha ini telah berhasil sebahagian untuk Hulu Sungai, dimana sebagian anggauta-anggauta Tengkorak Putih telah

148