Halaman:Kalimantan.pdf/278

Halaman ini tervalidasi

Pada waktu sebelum perang dan mendjelang zaman pendudukan Djepang keadaan gadji buruh masih sangat menjedihkan. Tafsiran pihak madjikan (Belanda) dengan kata: „orang Bumiputera tjukup makan dengan sebenggol satu hari" diwudjudkan dalam tekanan pemberian upah jang rendah sekali. Benar-benar pada masa itu kaum buruh mengalami masa jang pahit getir. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia membawa hati harap-harap tjemas bagi kaum buruh Kalimantan. Mereka sudah haus akan perbaikan dan perubahan nasib, dan tidak sedikit mereka meninggalkan pekerdjaannja turut bergerilja.

Tetapi apa terdjadi! Keadaan politik di Kalimantan memainkan peranan begitu rupa, sehingga bukan Pemerintah R.I. jang langsung menguasai daerah-daerah, akan tetapi NICA dengan tendenz hendak mengembalikan kekuasaan waktu sebelum perang. Dimana-mana Nica-lah sekarang jang berdaulat, dengan alat-alat penindasannja. Tambang minjak di Kalimantan Timur telah dibuka kembali oleh B.P.M. dan O.B.M. Berturut-turut mereka bekerdja dari tahun ketahun, sampai kepada masa sekarangpun. Beribu-ribu tenaga buruh dikerahkan kembali dan laba jang diperoleh tidak sedikit. Demikian misalnja dalam tahun 1934 masa jang dapat dikatakan masa depressie oleh B.P.M. masih dapat diperoleh keuntungan bersih sebesar ƒ 40.000.000.—, satu djumlah pada waktu itu jang dipandang sangat besar. Keuntungan sebesar ini diperoleh karena mengadakan penghematan jang agak luas, dengan memberhentikan sedjumlah pegawai-pegawai jang bergadji besar, diganti dengan pegawai-pegawai jang ketjil penghasilannja.

Sesudah habis perang B.P.M., O.B.M. dan lain-lain banjak memerlukan tenaga buruh untuk membangun perusahaan mereka jang telah tandas oleh bom-bom Sekutu. Tenaga ini dapat diperoleh dengan mudahnja, karena segala perusahaan dan perdagangan rakjat telah lumpuh sama sekali, terutama disebabkan oleh „mati"-nja uang Djepang setjara mendadak, sehingga memaksa sebagian besar dari rakjat melakukan pekerdjaan buruh, meskipun dengan gadji sekadar untuk dapat hidup. Demikian umpamanja upah kuli B.P.M. di Balikpapan pada masa itu ditetapkan tidak lebih dari Rp. 1.50 sehari. Dengan penghasilan jang amat sedikit ini, seorang jang mempunjai anak dan isteri hidup dalam keadaan setengah lapar. Keadaan ini berdjalan bertahun-tahun lamanja, dengan tidak sedikitpun mendapat perbaikan. Buruh ketjil mendjerit minta perhatian, tetapi suatu djeritan jang tak berdjawab.

Baru pada beberapa bulan kemudian, setelah beberapa kali diadakan gugatan-gugatan jang hangat, diadakan djuga perubahan sedikit dalam hal upah buruh jaitu dari Rp. 1.50, djadi Rp. 2.— sehari, suatu hasil jang benar-benar tidak seimbang dengan djerih-pajah mengurusnja. Apalagi djika tingginja biaja hidup sehari-hari, upah jang ditetapkan oleh B.P.M. O.B.M., masih sangat rendah dan belum dapat didjadikan dasar minimum upah buruh jang lajak. Keadaan ini memberi gambaran suatu penindasan terhadap buruh, meskipun diakui, bahwa setiap perusahaan itu berhak melakukan tindakan jang dianggap efficien untuknja, tetapi djuga djangan melupakan factor-factor lain, dimana tiap-tiap modal asing dalam satu negara hanja dapat disetudjui djika penanaman kapital itu pada dasarnja, disamping mentjari keuntungan djuga bermaksud memberi kemakmuran bagi rakjat didaerah itu dan penghasilan jang memuaskan bagi Negara. Dalam hubungan ini terutama sekali harus diberikan kedudukan

274