Halaman:Kalimantan.pdf/325

Halaman ini tervalidasi

Agaknja bangsa Portugis dan Sepanjol pada abad-abad jang lalu pernah pula mendjeladjah seluruh pulau, terbukti dengan benda peninggalannja jang terdapat dipelosok-pelosok Kalimantan sebelah Barat, Timur dan Selatan. Meriam-meriam mereka itu terdapat di Sambas, Bandjarmasin dan Samarinda, disimpan sebagai benda-benda kuno, sebagai perlambang dari bangsa pendjadjah jang hendak merampas isi bumi Kalimantan dengan alat-alat kekuasaannja. Tetapi bendabenda kuno jang tidak dapat diabaikan begitu sadja, dimana nilainja jang tinggi masih dapat dipertahankan terutama oleh suku-suku Dajak, ialah jang berupa tempajan kuno dan piring-piring besar dan gutji tua. Seperti djuga halnja dengan adat-istiadat Negara-negara Asia lainnja, maka di Kalimantan terdapat dalam kalangan suku Dajak pemudjaan terhadap tempajan.

Benda-benda kuno, tempajan dan gutji dari Tiongkok jang paling tua umurnja, sedang benda inilah jang disenangi penduduk asli sebagai tempat pemudjaannja. Kepertjajaan jang demikian ini dikalangan suku Dajak Kenja disekitar daerah Apo Kajan tidak begitu mengindahkan terhadap benda-benda kuno itu, sedang merekapun tidak begitu biasa untuk memudja-mudja. Dalam beberapa bahasa, maka „tong kosong" misalnja mendapat perhatian sederhana, tidak penting, malahan menggambarkan kepalsuan dan kebodohan, tetapi dikalangan suku Dajak, benda kosong itu adalah amat penting sekali, karena dapat diisi dengan suatu benda, dan dalam hal ini ialah dengan benda halus, tegasnja roch. Dalam suatu daerah jang kaja-raja, dimana kaum penghuninja tidak begitu berpajahpajah untuk mentjari makanan, bahkan nasi serta lauk-pauknja datang dengan sendirinja, maka dengan sendirinja pula fikiran mereka dapat dipusatkan kepada lain-lain soal. Hutan rimba-belantara, gunung-gunung, sungai-sungai, kekuatan alam jang dahsjat, semuanja itu menimbulkan fikiran kepada penghuninja, bahwa mereka itu bernjawa pula. Dengan lain perkataan, bahwa alam, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, air, dan api semuanja mempunjai njawa.

Oleh karena dalam kehidupan mereka sehari-hari segala tindakannja diatur sedemikian rupa, djangan sampai menggusarkan roh-roh halus. Roh-roh itu ada jang djahat dan bengis, dan ada pula jang baik. Setiap orang merasa takut sekali terhadap roh djahat, karena kepertjajaan jang demikian telah masuk akal dan masuk pula dalam hati sanubarinja sedjak ketjil, dan akan dibawanja sampai kepada saat mereka mati. Terpengaruh oleh perasaan takut dan chawatir itu, maka dengan mudah timbul hasrat untuk meraju dan mendekatinja agar supaja tidak mengganggu kesehatan dirinja. Sedang roh jang baik suka menolong kepada machluk manusia, lebih mendapat perhatian lagi dan karenanja mereka tidak segan untuk memudjanja setiap saat dan waktu, bilamana mereka anggap perlu.

Maka dengan demikian njatalah sudah, bahwa benda kosong jang sebenarnja tidak ada artinja itu, didjadikan tempat jang tertentu bagi para roh jang baik. Demikian djuga halnja dengan tempajan dan gutji, jang tidak sadja karena terlalu tua umurnja, tetapi djuga dianggap sebagai barang pusaka turuntemurun. Menurut penjelidikan tempajan-tempajan itu ada jang dari tahun 960 sampai 1279 sudah ada ditempat atau didaerah pedalaman Kalimantan jang asalnja dari bangsa Tiongkok. Orang Dajak sendiri amat pertjaja, bahwa tempajan atau gutji sebenarnja berasal dari langit, karena Pahlawan Kadjangka jang berasal dari pedalaman Kalimantan Selatan jang menguasai bulan telah memberikan peladjarannja kepada seorang keturunan Radja Madjapahit untuk

321

(685/B) 21