Halaman:Kalimantan.pdf/332

Halaman ini tervalidasi

Setelah pekerdjaannja selesai, maka diumumkannja kepada chalajak ramai, terutama dalam kalangan agama Hindu dan agama Budha, dan agama tjiptaannja ini dapat diterima, jang kemudian diberinja nama Tantaulang, jaitu nama dari pentjiptanja sendiri. Sedjak lahir agama baru itu, jang kemudian dianut oleh penduduk pedalaman Kalimantan pada zamannja sampai tiba pula saatnja saingan-saingan baru dalam keagamaan, seperti Islam, Kristen dan Protestan.

Penganut-penganut agama Tantaulang, jang lazim disebut agama Kaharingan mempunjai tiga pesona Tuhan, jaitu Ranjing Mahatalla Langit jang mendjadikan langit dan bumi, Tempen Tellon jang melepaskan dari segala dosa, dan Maharadja Bunu jang menguasai maut. Penganut-penganut agama Kaharingan djuga pertjaja kepada dewa-dewa, Sangiang-sangiang jang tinggal dialam atas kajangan, djuga kepada roh-roh jang berdiam dipohon-pohon kaju besar, diteluk-teluk jang dalam, dalam muara-muara sungai atau dalam goa batu. Roh-roh itu berdiam pula pada beberapa djenis unggas, binatang-binatang buas. Menurut mereka, semuanja itu dapat mendatangkan kebahagiaan — roh baik — dan mendatangkan malapetakan — roh djahat.

Sebabnja djadi Sangiang itu dipertjajai djuga disamping Ranjing Mahatalla Langit, karena Sangiang dan roh halus adalah jang didjandjikan Tuhan Ranjing — dengan perantaraan Sambung Maut dan Sang Paukur — utusan — harus tolong-menolong dengan manusia. Perdjandjian ini disampaikan pula kepada Maharadja Bunu waktu perpisahan dengan saudaranja Tabujau Sangiang dan Tabujau Sangen. Disamping itu, mereka pertjaja pula terhadap Tawur — beras jang ditabur — karena inipun merupakan utusan jang langsung diturunkan oleh Ranjing untuk menghubungkan antara ummatnja dengan Maharadja Bunu, dengan Tempon Tellon dan dengan segenap roh-roh halus lainnja.

Selain itu, bukankah beras memberi kekuatan lahir-bathin kepada manusia? Itulah karena ia ada mengandung mudjizat Ranjing. Tjara manusia memberi perintah kepada beras itu diutjapkan dengan berlaku, „Ehm behas ngandangku bitim, narin djetku ganam, njahuangku namai ngalimbang tatupong Radja Tuntunng Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan", artinja „Hai beras Kusentuhkan badanmu, kupandjatkan rohmu keatas langit, kusuruh menghadap mahkota Dewa Matahari jang bertachta disamping Dewi Bulan Purnama". Setelah bernjanji dan berlagu, maka dihamburkan beras itu tudjuh kali. Sebagian dari sisanja, jakni 7 x 7 bidji dibungkus dengan kain putih. Pada keesokan harinja bungkusan itu dibuka. Pada udjung beras ada tanda-tanda jang dapat dimaklumi, apakah permohonan jang disampaikan oleh sang utusan terkabul atau tidak.

Penganut-penganut agama asli itu pertjaja djuga kepada Dahiang karena adalah suatu alamat atau tanda bahagia dalam suatu pekerdjaan atau perdjalanan. Hal ini dialamatkan Ranjing Mahatalla Langit dengan perantaan sebangsa burung, sedjenis ular jang tersendiri didjandjikan Tuhan untuk memberi alamat kepada machluk manusia jang pertjaja akan kemurahannja. Siapa jang mengetahui dan pertjaja, maka terhindarlah ia dari bahaja jang menimpa dirinja. Sedangkan hal itu sebenarnja adalah sebagai suatu pertjobaan jang datangnja dari Tuhan untuk membuktikan kepertjajaan manusia.

Kepertjajaan kepada darah, adalah karena telah didjandjikan Tuhan, terutama darah korban jang disembelih untuk sesuatu maksud pemudjaan. Seseorang jang

328