Halaman:Kalimantan.pdf/338

Halaman ini tervalidasi

tertentu. Disamping itu dilakukan pemudjaan kepada roh dan pembatjaan mantera untuk menolak malapetaka dan kemarahan roh terhadap tindakan kedua machluk jang dianggap tidak senonoh itu.

Demikian djuga, apabila antara budjang dan gadis melarikan diri dan menjerahkan diri kepada kepala adat untuk dinikahkan, maka berlaku djuga adat dan upatjara kawin seperti tersebut diatas.

Dan bagaimana dengan kawin biasa?

Dalam perkawinan ini dimaksud ialah perkawinan jang biasa, dimana seorang anak dara dilamar atau dipinang oleh seorang djedjaka. Biasanja ketika hendak meminang itu jang kemudian diresmikan dalam pertunangan, atau lazim disebut djuga ,,kawin gantung", maka pihak gadis menerima ikatan perkawinan berupa kain dan badju. Pertunangan ini diumumkan kesegenap isi kampung supaja diketahui. Pada waktu itu hadir kepala-kepala adat dan Kampung, dan dalam upatjara itu terdjadilah ,,tawar-menawar" mengenai mas kawin dan sebagainja. Dan pada saat itu pula ditetapkan djarak waktu, hari bulan, bilamana perkawinan itu akan dilangsungkan. Apabila hari perkawinan, maka persiapan-persiapan masing-masing pihak jang bersangkutan amat sibuk, karena pada hari jang telah ditentukan dirumah pengantin perempuan hadir segenap kaum famili, kerabat dan kepala-kepala Kampung serta bakal mertuanja. Demikian djuga sebaliknja dirumah pengantin lelaki hadir pula bakal mertuanja.

Upatjara perkawinan selandjutnja diserahkan kepada rapat Desa dengan diketuai oleh kepala Desa sendiri. Mula-mula diserahkan barang jang disebut ,,pembuka mulut ". Pembitjaraan penjelenggaraan dimulai. Dua orang utusan diangkat jang disebut ,,palui " kedua mereka ini diberi pakaian chusus. Mereka mendjadi perantara dalam hal ini merupakan sandiwara, seakan-akan seorang musjafir ingin membuat ladang disuatu daerah jang asing, tetapi untuk masuk daerah ini ia harus memenuhi sjarat-sjarat dengan rupa-rupa pembajaran. Maka tiap pembajaran biasa dilakukan tawar-menawar dalam suasana jang sungguh-sungguh, kadang-kadang dengan pertengkaran, tetapi tidak kurang gembiranja.

Dalam keadaan seperti itu, maka keluarlah segala matjam pantun, sloka, sjair dan sebagainja, dan tiap-tiap pembajaran jang diterima, disampaikan oleh penghubung kerumah fihak mempelai perempuan. Sedang jang menunggu di rumah ini ialah segenap kepala-kepala adat, kampung dan kaum keluarganja sendiri, sambil bernjanji dan memukul gendang dan rebana, sedang jang muda-mudi menari menurut langkah irama lagu, dengan tingkah lakunja masing-masing. Sekalipun demikian pemudjaan kepada roh tidak pernah dilupakan, bahkan lebih dahulu dari segala matjam upatjara. Hari permulaan dari upatjara itu pemudjaan lazim disebut pemudjaan ,,mentah ", sedang pada hari penutupnja disebut pemudjaan „masak". Untuk pemudjaan ini mereka mengorbankan beras, ajam hidup dan kapur sirih, serta nasi ketan dan lemang sebanjak 8 ikat. Angka 8 bagi kepertjajaan mereka adalah angka untuk melangsungkan perkawinan, sedang angka 7 adalah angka mati.

Upatjara ini melalui tiga taraf, dan taraf pertama ialah berkumpul dan mendengarkan pengumuman, persiapan dan achirnja masa penjelesaian. Pada hari pengumuman dan berkumpul orang-orang hanja berkumpul dan mendengarkan isi pengumuman sadja. Dalam taraf kedua, jaitu taraf persiapan, maka mulailah

334