Halaman:Kalimantan.pdf/340

Halaman ini tervalidasi

ini namanja „pantang telur" jaitu kedua pengantin mengundjungi ajah-ibunja jang bakal mendjadi mertuanja masing-masing.

Dan bagaimana pula dengan kawin luar biasa?

Kawin luar biasa dilakukan dengan upatjara seakan-akan dalam suasana peperangan, jaitu djedjaka melarikan gadis dengan meninggalkan tanda pada alamat jang tertentu. Orang tua sigadis jang mengetahui anaknja dilarikan orang mempersiapkan diri dengan alat sendjata dengan beramai-ramai merupakan sepasukan angkatan perang menjusul anak gadisnja. Dikampung mana sigadis disembunjikan, orangpun semuanja bersiap-siap dengan sendjata pula. Ditiap tempat persinggahan dan djalan kerumah diikat babi, kerbau, ajam dan binatang ternak lainnja. Dihalaman rumah didirikan pantan pula.

Setibanja rombongan penjusul, maka dibunjikan tanda bahaja, jaitu dengan membunjikan tawak-tawak dengan irama tertentu. Suara gong menginsjafkan orang kampung untuk berkumpul dan tidak ada seorangpun jang berani menampakkan diri. Masing-masing bersembunji. Pasukan keluarga sigadis datang dengan muka jang kedjam dan bengis, dengan pedang terhunus lalu menjerbu kepada ajam, babi, kambing dan kerbau, sedang pohon-pohonan ditebang, pendeknja mengamuk seperti harimau kelaparan. Konon kabarnja menurut sepandjang riwajat, tidak sadja segala ternak jang dibunuh, akan tetapi djuga segala hamba sahaja - budak -.

Machluk-machluk ini didjadikan korban. Tetapi setelah pasukan keluarga gadis itu melewati pantan, maka keluarlah pasukan keluarga lelaki jang melarikan gadis tersebut, jang disertai dengan genderang perang, berteriak-teriak menjanjikan lagu peperangan dengan sendjata ditangannja. Dalam pada itu keluarlah seorang Kepala adat jang bertindak sebagai hakim dengan membatja mantera, berseru dengan suara jang njaring jang umumnja mengandung makna. Kemudian suara-suara ini diimbangi oleh suara dari pasukan penjerang, bersahut-sahutan dan achirnja tertjapailah perdamaian antara kedua belah pihak, sedang segala korban-korban jang telah dibunuh disadjikan kepada mereka untuk dimakan bersama.

Setelah itu baru dilakukan upatjara perkawinan, jang tidak ubahnja dengan upatjara perkawinan biasa. Hanja bedanja segala biaja perkawinan ditanggung oleh pihak lelaki dan bertempat dirumah lelaki pula. Menurut adat mereka, biaja jang dikeluarkan itu agak besar djumlahnja. Tjara perkawinan demikian ini sudah agak djarang dilakukan, tetapi masih belum dapat dihilangkan sama sekali .

Dan bagaimana dengan upatjara kematian?

Soal kematian dalam masjarakat Dajak, sekalipun pada lahirnja merupakan suatu kesedihan, tetapi menurut filsafah-filsafah dikalangan mereka, bahwa soal kematian itu adalah djuga soal kegembiraan, karena untuk ini mereka melakukan upatjara pesta kematian. Mati dalam istilah hari-hari disebutkan djuga ,pulang". Dalam artikata pulang itu menundjukkan suatu kegembiraan. Pulang diartikan kembali ketempat asal dan kekal. Dalam hubungan ini menurut kepertjajaan, bahwa mati itu hanja saat perginja atau terpisahnja badani halus dengan badani kasar sadja.

Dialam dunia halus ini, manusia hidup serupa dengan didunia kasar. Baik tentang bentuk dan umur. Jang tua-tua menurut ketuaan sewaktu meninggal, dan

336