Halaman:Kalimantan.pdf/346

Halaman ini tervalidasi

Berapa lamanja mereka dalam perdjalanan tidak dapat ditentukan, biasanja sebelum berhasil maksud mereka tidak akan kembali. Orang-orang tua jang memegang adat tinggal dirumahpun tidak boleh memakan garam, ikan dan lain-lain, ketjuali nasi selama pemuda-pemuda jang disuruhnja mengajau kepala belum kembali. Tetapi bilamana pemuda-pemuda itu telah kembali dan membawa hasil jang dikehendakinja, barulah pemuda-pemuda pengajau itu boleh memakai tjawat dari kain hitam jang menundjukkan, bahwa mereka adalah terdiri dari pemuda-pemuda jang gagah berani dan diizinkan mentjari pasangan untuk kawin. Ketika itu pula mereka mengadakan upatjara besar-besaran meresmikan kepahlawanannja. Dalam upatjara itu diadakan tari-tarian serta njanji-njanjian, diutjapkan dengan kata-kata proza dan poeizie oleh perawan dan pemuda. Perawan-perawan berebut-rebutan mentjari pasangannja dengan pemuda-pemuda perwira itu. Menurut kepertjajaan mereka, apabila mereka meninggal dunia, akan mendjadi orang jang ternama jang tidak gampang dilupakan masjarakat. Bahkan ia akan mendjadi radja untuk memerintah segala apa sadja maksudnja. Orang-orang suruhan baginja jang terdiri dari kaum hamba-sahaja sudah sedia, jakni orang-orang jang akan didjadikannja korban, jang rohnja dapat dipergunakan untuk adat mereka, sebagai upah dan gandjaran kepahlawanannja selama hidup didunia.

Roh dari hamba-sahaja jang dikorbankan - apabila mereka ini dapat dikorbankan - lebih dahulu harus melakukan pertarungan, dan siapa jang kalah itulah jang harus didjadikan korban.

Dalam hal ini, kalau untungnja malang, ia sendiri jang djatuh djadi korban, dapat dikalahkan oleh lawannja. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan nama atau gelar seperti radja, orang harus lebih dahulu menjabung njawa. Inilah konsekwensi daripada pengajauan kepala. Dan untuk pekerdjaan jang demikian bahajanja, sudah barang tentu jang akan mendjalankannja mesti terdiri dari pemuda-pemuda atau laki-laki jang berani dan nekad. Ketika pemerintah Belanda dapat menduduki kepulauan Kalimantan, maka kebiasaan untuk memotong kepala dan memperbudak manusia tidak diperkenankan lagi, dan untuk ini Belanda akan memberikan hukuman mati kepada siapa jang berani melanggarnja, sekalipun Belanda mengetahui, bahwa pemotongan kepala dalam kebiasaan Dajak itu adalah suatu adat-istiadat dari nenek-mojangnja.

Sikap Belanda jang demikian ini sebenarnja dapat menimbulkan kebentjian bagi suku Dajak, sedang mereka tidak berusaha untuk mentjari ganti jang kiranja dapat dipergunakan oleh masjarakat Dajak untuk mendjalankan upatjaranja . Untuk merumuskan upatjara jang kiranja tidak bertentangan dengan kehendak Belanda, maka oleh kepala-kepala adat diadakan suatu tjara lain, tetapi jang hakekatnja sama dengan mengajau kepala, sekalipun bukan berarti mengajau dengan sebenarnja, asal nama mengajau itu djangan dihilangkan sama sekali. Permintaan itu dikabulkan Belanda, sedang kepada Belanda belum pernah diperlihatkan tjara baru dalam pengajauan itu.

Tjara baru dalam pengajauan hanja tidak dilakukan setjara besar-besaran

jang lamanja berbulan -bulan, melainkan hanja untuk beberapa hari sadja, karena mereka amat keberatan djika adat-istiadat itu dihapuskan sama sekali, sekalipun jang melarangnja adalah Belanda sendiri. Kalau dahulu sebelum Belanda datang pengajauan sengadja didjalankan untuk mentjari korban, maka dalam tjara baru

342