Halaman:Kalimantan.pdf/349

Halaman ini tervalidasi

Djadi agak salah anggapan, bahwa mementjilnja perkampungan Dajak, bukan karena diusir oleh radja, melainkan karena memberikan gandjaran kepada mereka jang telah mengorbankan djiwanja dalam membantu peperangan, dan merekapun dapat menerima hadiah tanah dan kampung itu. Sisa-sisa dari bala bantuan itu hingga sekarang dapat disaksikan didaerah perkampungan di Pleihari, Kalimantan Selatan, dimana mereka hidup bersama dengan saudara- saudaranja, baik jang telah memeluk agama Islam, Kristen, maupun jang masih memeluk agama aslinja. Adalah satu hal jang agak aneh dalam masjarakat Dajak, jaitu apabila mereka telah memeluk agama Islam, atau telah mendjadi orang Melaju, dengan sendirinja berpindah kekampung-kampung orang Melaju. Meninggalkan kampung halamannja sendiri, bahkan segan disebut sebagai orang Dajak, sedang tjara hidup merekapun sedapat- dapatnja disesuaikan dengan masjarakat Melaju.

Ketika pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa di Kalimantan, maka seluruh hukum adat kebiasaan suku Dajak tidak mempunjai sanksi lagi, ketjuali dipelihara sebagaimana mestinja. Tetapi oleh Belanda untuk mendjaga djangan sampai adat kebiasaan jang dianggapnja biadab itu berdjalan terus, lalu diangkat seorang Kepala Adat jang bergelar Demang. Tetapi bukan Demang dalam artian Kepala Distrik seperti jang terdapat di Kalimantan Barat, melainkan hanja untuk mengurus adat istiadat Suku Dajak, disetiap onderdistrik.

Adat jang dipetugaskan kepada Demang-demang itu, mempunjai badan hukum djuga sebagai pengadilan untuk memutuskan segala pelanggaran-pelanggaran terhadap adat. Orang-orang jang bersalah, sebelumnja ditarik kemuka hakim magistraat atau landraad - dibitjarakan lebih dahulu dihadapan rapat adat. Sedang ongkosnja dibajar sendiri oleh mereka jang berperkara itu. Kalau keputusan Demang memuaskan bagi kedua belah pihak jang bersangkutan, maka perkara itu tidak perlu lagi dibawa kehadapan hakim, karena hakim pertjaja sepenuhnja atas beleid jang didjalankan oleh Demang. Tetapi bilamana perkara itu tidak dapat diselesaikan, karena kedua belah pihak tidak merasa puas, perkara itu diserahkan kepada Hakim untuk mengadilinja.

Biasanja orang jang menang perkara dalam rapat adat, maka ia tetap akan menang djuga dalam pengadilan hakim, karena hakim tidak dapat menjanggah segala keputusan jang telah diambil oleh orang sebawahannja. Tetapi segala keputusan itu hanja terbatas kepada pelanggaran-pelanggaran biasa, sedang perkara-perkara jang bersifat kriminil harus diserahkan kepada hakim.

Bagaimana bentuk rumah suku Dajak?

Dipedalaman Kalimantan, rumah-rumah orang Dajak amat tinggi-tinggi tiangnja. Ada jang sampai 5 sampai 10 meter dari tanah, sedang bentuknja pandjang dan besar. Dapat memuat 100-200 orang berkelompok mendjadi satu. Hanja dibatasi oleh dinding - dinding sadja. Merekapun bukan dari satu keluarga sadja, melainkan dari berbagi-bagai keluarga. Rumahnja itu lazim disebut ,,bantang" dibagian Kalimantan Barat, dan ,,Lamai" dibagian Kalimantan Timur. Rumahrumah itu satu dan lainnja djauh letaknja, bahkan amat djauh dari kota. Dalam satu kampung paling banjak ada 3 atau 4 rumah pandjang, tetapi penghuninja amat banjak, dengan seorang Kepala Adat atau Kepala Suku, jang lazim djuga disebut ,,Bakas Lewu " atau,, Ungko Luwu" . Letak rumah mereka kebanjakan dipinggir sungai, karena sungai itulah jang mendjadi djalan bagi mereka djika

345