Halaman:Kalimantan.pdf/36

Halaman ini tervalidasi

Sedjak dihapuskannja Pemerintah Republik daerah Kalimantan, maka sedjak itu pulalah perkembangan politik tidak mempunjai arah tudjuan jang tertentu, karena selain mendapat tekanan dari musuh-musuh Republik, akan tetapi djuga mendapat antjaman bajonet sendjata Belanda. Dalam keadaan seperti itu, pentjinta-pentjinta Republik tidak dapat berbuat suatu apa, lain daripada menjerah untuk sementara waktu kepada kekuasaan jang mengongkongnja, dengan perasaan bentji dan dendam chasunat.
Politik pemerintahan Belanda jang dirumuskan menurut konsepsi-konsepsi kolonial menitik-beratkan segala usahanja untuk menarik kepertjajaan rakjat supaja membantunja. Sedjak itulah nampak pertarungan batin antara pemimpin-pemimpin di Kalimantan, apakah turut Belanda ataukah Republik Indonesia. Keadaan demikian berdjalan hampir mendjelang tahun 1946, dimana situasi politik dalam negeri semakin katjau, sedangkan bagi pemimpin-pemimpin Kalimantan jang lemah djiwanja segera mengambil langkah untuk menjelamatkan dirinja.
Politik ,,devide et impera" Belanda amat tadjam didjalankan, sehingga mereka dapat membikin garis pemisah jang amat djauh antara rakjat jang pro Republik dengan para pemimpin jang lunglai semangatnja jang dapat didjadikan alat untuk memperkokoh pemerintahannja. Kepada "pemipmin-pemimpin" jang lemah semangatnja , Belanda menawarkan kerdjasama dan mengadjak mereka untuk memberi isi pada pemerintahan Belanda-Nica, dalam mana didjandjikan kedudukan-kedudukan jang lajak bagi "pemimpin-pemimpin " jang telah djatuh dalam pengaruh kekuasaannja.
Pemerintah Belanda jang amat litjin mendjalankan politik di Kalimantan telah berhasil membentuk satu Panitia Pembantu Perobahan Pemerintahan Kalimantan Selatan pada bulan Djuli 1946. Demikian djuga ditiap-tiap kota dan desa telah dibentuk tjabang-tjabang Panitia tersebut. Sedang didaerah Kalimantan Barat dan Timur, Belanda telah menanam kekuasaannja kembali, jaitu dengan djalan memaksakan kehendaknja pada rakjat, disamping usahanja mengangkat kembali para kaum kerabat Sultan, jaitu sisa daripada keluarga Sultan dan radja-radja jang tidak sempat disembelih Djepang.
Untuk menggambarkan suasana politik di Kalimantan jang seluruhnja sudah dikuasai Belanda, maka mau tidak mau gambaran ini seolah-olah berbau Belanda, menilik suasananja, melihat objectifite:tnja dan kenjataannja, jang tidak dapat dilepaskan dari hubungan sedjarah pergolakan politik dan ketata-negaraan di Kalimantan menurut sepandjang konsepsi Belanda. Djabatan-djabatan dan kedudukan radja-radja jang sedjak zaman Djepang telah dihantjur-luluhkan, sekarang ini dibangunkan kembali. Hamid Alkadri telah dinobatkan sebagai Sultan Keradjaan Pontianak dan mendjadi Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Kalimantan Barat.

Dalam mendjalankan politiknja itu, Belanda selalu berpedoman kepada djandji Ratu Belanda tahun 1942, dimana didjandjikan untuk berangsur-angsur mengadakan perobahan susunan pemerintahan jang sesuai dengan kehendak zaman, jaitu melaksanakan suatu susunan pemerintahan jang demokratis dan menghilangkan anggapan rakjat, bahwa kembalinja Belanda di Indonesia djangan hendaknja dianggap sebagai pembaharuan daripada pemerintahan kolonial.

32