Halaman:Kalimantan.pdf/93

Halaman ini tervalidasi

ini masih lebih besar daripada kesimpulan jang dapat ditarik daripada perbandingan jang diberikan oleh peladjaran ilmu bumi sadja, karena penduduk Kalimantan djauh lebih renggang daripada di Djawa, sehingga antaranja kampung dengan kampung malah antara pedukuhan dengan pedukuhan (anak kampung) sangat besarnja dan tidak kurang daripada antaranja kabupaten dengan kabupaten di Djawa. Lagi pula hampir semua djarak ini harus didjalani meliwati sungai, sehingga perdjalanan lebih lambat daripada didarat. Perdjalanan jang memakan 20 hari dari kampung ke-onderdistrik adalah suatu hal jang biasa; perdjalanan dari Long Nawang ke distrik djadi djuga perhubungan pos memakan waktu sedikit-dikitnja dua bulan. Maka karena itu djarak pada umumnja tidak dihitung dengan djumlah kilometer tadi sudahlah mendjadi kebiasaan mengukurnja dengan hari perdjalanan, suatu ukuran jang benar sangat relatif akan tetapi untuk keperluan masjarakat lebih sesuai daripada kilometer dan paal, sehingga sebenarnja tidak salah djika luasnja sesuatu wilajah diukur dengan beberapa „hari persegi".

Pengaruh soal djarak lebih besar dalam perhubungan kampung ke-onderdistrik, dan onderdistrik ke-distrik, daripada dalam perhubungan antara Bandjarmasin dengan Tarakan ataupun dengan Pontianak umpamanja. Dalam hubungan antara kota-kota jang agak besar ini kita dapat mempergunakan perhubungan udara ataupun perhubungan dengan kapal. Keadaan ini membawa, bahwa faktor djarak ini tidak begitu menjukarkan hubungan dinas dipemerintahan tingkat atasan, akan tetapi lebih terasa ditingkatan bawahan.

Oleh karena keinginan-keinginan politik didaerah tidak menentang pendirian satu propinsi untuk seluruh Kalimantan, malah susunan jang demikian harus dianggap sebagai usaha jang sehat untuk memberantas penjakit separatisme dan sentimen kedaerahan jang tidak sehat sedang keadaan perhubungan dan lalu-lintas tidak merupakan suatu keberatan untuk propinsi jang berdaerah luas, maka lebih tepat masalah „satu propinsi atau lebih" sebenarnja tinggal tergantung pada kemungkinan-kemungkinan ekonomis. Kemungkinan ekonomis tidak sadja dalam arti, bahwa propinsi pada hakekatnja harus dapat membiajai pemerintahannja dari sumber keuangannja sendiri, akan tetapi djuga dalam arti, bahwa harus ditjari djalan jang sebaik-baiknja, jang se-effectief mungkin, untuk memperbesar potensi daerah, agar segala sumber kekajaan dapat diperhebat hasilnja untuk kepentingan rakjat Indonesia seluruhnja. Bahwa dalam suatu negara jang bersifat unitaristis tentunja segala sesuatu harus dipandang dari sudut kepentingan Negara seluruhnja dan otonomi adalah suatu sistim pemerintahan untuk mendjamin perkembangan masing-masing daerah dengan mempergunakan faktor-faktor daerah, djuga untuk kepentingan daerah itu, akan tetapi dalam pandangan kepentingan Negara seluruhnja. Djadi intensivering pemerintahan, sosial, ekonomis dan politis. untuk memperhebat perkembangan jang menuntungkan daerah jang bersangkutan dalam hubungan Negara seluruhnja.

Jang demikian ini dengan sendirinja mempertinggi masalah ini dan membawanja kesuatu tingkatan jang tidak semata-mata mengenai desentralisasi dalam arti biasa, akan tetapi merupakan soal desentralisasi sebagai djalan untuk mentjapai tjita-tjita nasional jang tertjantum dalam fasal 33 Undang-undang Dasar Republik Indonesia.

89