Halaman:Kalimantan.pdf/94

Halaman ini tervalidasi

Dengan demikian timbul pertanjaan, apakah kemungkinan-kemungkinan ekonomis menghendaki adanja hanja satu atau beberapa propinsi untuk seluruh Kalimantan. Terketjuali djika pemerintah hendak memusatkan seluruh pembangunan ekonomis jang berarti dipusat, hal mana dapat dianggap bertentangan dengan maksudnja Undang-undang No. 22 tahun 1948, maka tidak ada djalan jang lebih baik daripada mendirikan hanja satu propinsi untuk seluruh Kalimantan, termasuk wilajah jang sekarang masih belum tergabung dengan Republik Indonesia.

Pada saat ini ada djuga faktor-faktor lain jang menurut kesatuan pimpinan untuk seluruh Kalimantan, jaitu infiltrasi politis dari luar Negeri. Dari pelapuran-pelapuran jang diterima harus diambil kesimpulan, bahwa masuknja orang bangsa lain kedaerah Kalimantan tidak hanja melalui pelabuhan, akan tetapi djuga dengan meliwati tapal batas darat dengan daerah Inggeris. Orang jang datang ini tidak sadja orang Tionghoa. akan tetapi ada djuga dari suku Dajak, hal mana menjukarkan pengawasan. Meskipun masalah ini terutama merupakan kewadjiban kementerian Luar Negeri, tidaklah dapat disangkal, bahwa pemerintah daerahpun harus memberi penuh perhatian kepadanja berhubung dengan kebidjaksanaan pemerintahan dan kebidjaksanaan politik polisionil jang harus didjalankannja. Bahwa kesatuan sikap dan pimpinan untuk seluruh tapal batas merupakan satu faktor penting tidak perlu didjelaskan lebih landjut.

Oleh karena itu pemerintah menganggap, bahwa baik ekonomis maupun politis, seluruh Kalimantan seharusnja dibentuk mendjadi hanja satu propinsi. Jang demikian tidak mengurangi keperluan dikemudian hari mendirikan lebih dari satu propinsi djika pembukaan Kalimantan dan usaha pembangunan sudah terwudjud.

Ibu-kota daerah pemerintahan itu seharusnja terletak dipusat daerah. Pusat tidak sadja dalam arti geografis, tetapi djuga dipandang dari sudut politis dan ekonomis, dan seberapa mungkin djuga dalam sudut kebudajaan.

Akan tetapi satupun diantara kota-kota di Kalimantan tidak memenuhi sjarat-sjarat tersebut. Djika hanja memperhatikan letaknja terhadap daerah, maka sebenarnja harus menempatkan ibu-kota propinsi itu di Muara Tewe atau sekitarnja. Akan tetapi dengan penempatan jang sedemikian pemerintah propinsi akan hilang hubungannja dengan masjarakat, karena tempat ini tidak mempunjai perhubungan lalu-lintas jang berarti, sedang daerah sekitarnja tidak mempunjai kehidupan politis dan ekonomis jang berarti. Oleh karena itu maka sjarat terletak „sentral" harus diartikan dalam pandangan hubungan dan lalu-lintas dan dengan sendirinja harus ditindjau kemungkinan ditempat-tempat jang agak besar, jakni ketika tempat keresidenan jang sekarang Badjarmasin, Pontianak, Samarinda dan Balikpapan.


Negara Kesatuan Republik Indonesia jang didukung oleh 13 propinsi, dalam mana daerah Kalimantan mendjadi satu propinsi dengan Dr. Murdjani selaku Gubernurnja, menghadapi persoalan baru, jaitu tentang pengisian otonomi daerah dan pembentukan Dewan-dewan Perwakilan Rakjat, Propinsi, Kabupaten dan Kotapradja. Bagi daerah Kalimantan Barat sendiri jang menerima kenjataan pahit dari sikap pemerintah daerahnja, melandjutkan perdjuangannja untuk memperbaiki susunan pemerintahan. Rakjat Kalimantan Barat jang djuga

90