Halaman:Kembali kepada Undang-undang dasar 1945.pdf/237

Halaman ini tervalidasi

 Saudara Ketua,

 Pemerintah merasa tidak ada perlunja untuk menambah apa jang diuraikan dalam Amanat Presiden pada tanggal 22 April jang lalu mengenai pokok fikiran ini.

 Dari uraian tersebut, begitu pula dari uraian dilain-lain bagian dapat diambil kesimpulan bahwa tidak benarlah utjapan Anggota jang terhormat Saudara Hamka, bahwa teori Trias Politica sudah kabur, demokrasi terpimpin berarti pemerintahan totaliter dan Front Nasional pada hakekatnja mendjadi „partai negara”.

 Pemerintah selandjutnja berpendapat kurang bermanfaat untuk melajani edjekan Pembitjara jang terhormat tersebut seperti antara lain maksud untuk membulatkan segala kekuasaan ditangan Presiden, memelihara „Pantjasila” jang sekarang tengah digontjangkan oleh perdjuangan kaum Muslimin dan lain-lain sebagainja, jang bersifat „persoonlijk” atau „provokatif” itu, serta jang tidak menggambarkan keadaan dan maksudPemerintah jang sesungguhnja.

 Selain dari pada itu Pemerintah tidak sependapat dengan Anggota jang terhormat Saudara M. Tahir Abubakar, jang menjatakan bahwa sistim pemungutan suara dalam Madjelis Permusjawaratan Rakjat jang termuat dalam pasal 2 ajat (3) Undang-undang Dasar 1945 adalah lebih liberal dari pada sistim pemungutan suara dalam Dewan Perwakilan Rakjat jang termuat dalam pasal 75 ajat (2) Undang-undang Dasar Sementara, karena sekalipun perkataan „mutlak” jang terdapat dalam pasal 75 ajat (2) Undang-undang Dasar Sementara tidak terdapat dalam pasal 2 ajat (3) Undang-undang Dasar 1945, namun tudjuan dari pada ketentuan dalam kedua pasal tersebut adalah sama, jaitu putusan diambil dengan suara terbanjak.

 Selandjutnja perlu dikemukakan bahwa segala permusjawaratan dalam pengertian Undang-undang Dasar 1945 harus dilakukan setjara kerakjatan atau demokratis jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan, ketentuan mana tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar Sementara, sedangkan inilah inti dari pada prinsip demokrasi terpimpin.

231