Halaman:Kenang-Kenangan Pada Panglima Besar Letnan Djenderal Soedirman.pdf/19

Halaman ini telah diuji baca

Didepan pintu gerbang Makam Pahlawan djenazah diusung oleh para-perwira,


ra Timur, sedang Soedirman baru W.M.P.M., Wakil Madjelis Pemuda Mahammadijah; djauh dibawah saja.

 Tetapi tuan, ini adalah djiwa besar, dan tjahaja dari djiwa jang besar kerap benar timbulnja dari tempatnja jang ketjil.

 Pilihan kepada Soedirman bukan kepada diplomanja. Tetapi pilihan kepada Soedirman adalah kepada djiwanja. Walau ketika badannja sehat sekalipun, tubuhnja hanja sederhana landai, tetapi matanja berapi, mata jang tidak mengenal patah hati didalam menudju tjita-tjita besar. Banjak Djenderal Major, Kolonel dan Letnan Kolonel dibawahnja, jang lebih tinggi diplomanja dari padanja, tetapi semuanja insaf bahwa djiwa Soedirman belum tertinggi oleh mereka. Bertambah besar dan tinggi kedudukannja, bertambah terbajang kebesaran itu.

Keluar dia merupakan serigala jang galak, kedalam dia merupakan Bapak jang pengasih.

 Berapa banjaknja kesulitan jang telah kita tempuh, berapa banjaknja angin badai jang telah menggojangkan beringin negara kita. Ingatlah seketika pristiwa 3 Juli! Ingatlah seketika Sjahrir ditjulik. Berapa banjaknja fitnah atau hasutan baik kepadanja atau kepada pimpinan Negara, supaja tiang-tiang agung kemerdekaan ini dapat digojangkan.

Ada kabarnja jang membisikkan, bahwa Soedirman — kalau mau —, bisa menumbangkan Soekarno dan mengambil pimpinan sendiri. Tetapi tidak! Soedirman adalah pentjinta Negara, pentjinta Soekarno-Hatta, hidup dan mati.

 Ketika Sjarifuddin berkuasa, dari djauh nampak benar bagaimana Sjarifuddin mentjoba mengurangi kekuasaannja dengan membuat Biro Perdjuangan. Tetapi tidak telap! Sebab urat Soedirman lebih teguh kebawah! Jang lebih kuat dari Sjarifuddin sebagai Bung Tomo dan Hizbullah, lebih setia hidup-mati kepada Soedirman, dari kepada Sjarifuddin.

 Banjak jang memandang enteng kepadanja, karena sekolahnja! Orang lupa, bahwa pentjipta pekerdjaan besar-besar, bahkan para-Nabipun, dan para pudjangga, lebih banjak djumlahnja senasib dengan Soedirman. Memandang enteng kepadanja sebelum masuk kedalam kantornja. Dan keluar dengan rasa malu kepada diri sendiri, karena tahu ketjilnja diri dihadapan djiwa besar.

 Berapa banjaknja opsir jang pingah dan royal sebelum datang ke Jogjakarta, berobah pekertinja setelah kembali. Sebab dilihatnja „Bapak”nja sendiri hanja seorang jang sederhana.

Dia diundang ke Djakarta hendak berunding perkara tentara kantong! Dia datang dengan pengiringnja. Tetapi dengan tjongkak tentara Belanda menjuruh menanggali sendjata pengiring-pengiringnja seketika akan masuk ke Djakarta. Dia kembali. Dia kembali ke Djokja. Dia tidak mau datang, kalau sambutan atasnja tidak sebagai sambutan atas seorang Kepala Perang dari satu Negara jang berdaulat. Terpaksa Belanda mengembalikan sendjata-sendjata itu dan minta ma’af. Dan dia masuk ke Djakarta dengan penuh kebesaran.

Sajang, badannja ditimpa sakit. Tetapi djiwanja tetap sehat! Dia seorang tentara jang patuh! Maafkan saja, dia seorang Muslim jang patuh!

Satu ajat dalam Qur’an dipegangnja betul, jaitu tha’at kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Ulil-amri (pemerintah), ringan atau berat. Djiwanja tidak mau damai-damaian, runding-rundingan. Tetapi tjintanja kepada Negara, banjak sekali meminta pengurbanan perasaannja.

 Bagaimana djiwanja sampai begitu kuat? Padahal rabunja telah hantjur separuh karena tbc. Dia senantiasa mendekati Tuhan. Kabarnja konon, Malam Selasa, seketika badannja masih sehat, dia masih tetap datang mendengarkan adjaran-adjaran agama dibekas tempatnja beladjar dahulu, di Kauman. Dihari Djum’at dia duduk disaf jang pertama, mendengarkan adjaran chutbah chathib.

Datang peristiwa Madiun. Semangatnja jang keras telah mengalir kedalam pipa darah opsir-opsirnja! Sapu bersih, sampai Negara tegak kembali. Dengan menekan dadanja, dia mendjatuhkan perintah. Dan Madium dapat dibasmi.

 Datang tindakan-kedua. Jogja diserang dari segala djurusan. Maka memberontaklah djiwa besar itu dari dalam tubuh jang telah sakit, bergerilja kegunung, hidup dan mati bersama anak² jang ditjintainja. Melalui hutan rimba belantara,mendaki gunung dan menuruni lurah, membagi perintah dengan disiplin jang keras. Badan sakit, berdjalan tidak kuat lagi. Perkara ketjil! Bikin tandu! Dengan tandu dia diangkat dari front menudju front, dan segenap tanah pada waktu itu adalah front! Sebab musuh bukan sadja dari muka, tapi dari atas! Laksana Saad bin Abi Wagash, jang djuga ditandu karena sakit, dalam perang Qadisijah.

17