Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/122

Halaman ini tervalidasi

hidup sama dengan orang: duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Kalau dapat, ya, lebih dari itu." (Iskandar, 2002:53).


Alasan laki-laki Minang pergi meninggalkan kam-pung halaman dan menetap di wilayah budaya lain salah satunya adalah untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai laki-laki. Di kampung posisi laki-laki Minang dapat dikatakan terkatung-katung. Mereka tidak mempunyai kedudukan yang jelas, baik di rumah istrinya maupun di rumah ibunya. Mereka dituntut untuk bertanggung jawab terhadap dua rumah tersebut, namun sekaligus mereka tidak mempunyai hak di kedua rumah tersebut. Kondisi itu mendorong mereka untuk merantau dengan tujuan untuk memperlihatkan rasa tanggung jawab mereka sebagai laki-laki. Selain itu, bagi laki-laki Minang merantau sudah menjadi keharusan. Dari kecil mereka sudah diajarkan untuk pergi merantau. Meskipun penghidupan di kampung halaman terkadang lebih baik daripada kehidupan di rantau, menurut kebiasaan belum lengkap rasanya bagi laki-laki Minang apabila belum pergi merantau, seperti terlihat dalam salah satu kutipan novel Karena Mentua.


Akan tetapi perasaan dan keinginan hendak merantau sesungguhnya sudah menjadi darah daging bagi anak Minang, laki-laki dan perempuan. Istimewa bagi anak muda-muda, sebab semenjak kecil telah didondang oleh ibunya dengan nyanyian:"O, buyung, lekaslah besar, supaya dapat menuruti mamakmu ke rantau orang! Kawan, gantilah dia lekas menggalas..." Dan sekali merantau tetap merantau, meskipun penghidupan di kampung tidak boleh dikatakan terlalu berkurangan atau meskipun merantau itu belum boleh dikatakan pasti mengayakan diri...(Iskandar, 2002:114-115).

Keinginan seseorang untuk menjadi berarti dan dianggap penting atau setidaknya menjadi sama dengan orang

110