Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/136

Halaman ini tervalidasi

ketika Samsul Bahri harus meninggalkan Ibu dan Nurbaya, dua orang yang sangat dikasihinya, serta kampung halamannya demi kesalahan yang telah ia perbuat sehingga ia harus rela pergi dan tidak kembali lagi.


"Selamat tinggal Ibu dan kekasihku! Aku hendak berjalan, barang ke mana dibawa nasibku yang malang ini. Jika ada umurku panjang, mungkin akan bertemu juga kita dalam dunia ini; jika tidak, bernanti-nantilah kita di akhirat. Di sanalah kita dapat bertemu pula, bercampur selama-lamanya, tiada bercerai lagi (Rusli, 2002:157).


Dalam Sengsara Membawa Nikmat diceritakan bagaimana Midun tidak ingin pulang ke kampungnya karena ia sangat dimusuhi orang sehingga ia harus rela berpisah dengan orang-orang yang mengasihi dan menyayanginya selama ini.


Saya takut pulang, karena saya dimusuhi orang berpangkat di negeri saya. Yang menghukum saya kemari pun, sebab orang itulah. Oleh sebab itu saya berniat hendak tinggal di Padang ini saja mencari pekerjaan (Sati, 2001:116)


Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck diceritakan tentang keinginan Zainuddin untuk melihat negeri ayahnya, Minangkabau, sehingga dia harus meninggalkan tanah kelahirannya, Mengkasar. Darah Minangkabau yang mengalir di tubuhnya menjadi salah satu pendorong keinginannya untuk meninggalkan Mengkasar. Orang Minang adalah suku perantau. Belum sempurna seorang laki-laki Minang jika belum pernah merasakan kehidupan di daerah lain. Begitu juga halnya dengan Zainuddin. Keinginannya untuk bertemu dengan keluarga bapaknya dan dorongan untuk melihat daerah lain memotivasi dia untuk meninggalkan tanah kelahirannya.


"Sempit rasanya alam saya, Mak Base, jika saya masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah

124