Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/14

Halaman ini tervalidasi

(1984:59-60) disebut sebagai "alam takambang jadi guru". Dalam falsafah hidup itu, seluruh aspek yang ada dalam masyarakat Minang dalam perbedaan kadar dan peranannya saling berhubungan, tetapi tidak saling mengikat. Aspek tersebut cenderung saling berbenturan, tetapi tidak saling melenyapkan, saling mengelompok, tetapi tidak saling meleburkan. Masing-masing unsur mempertahankan eksistensinya dalam suatu harmoni yang dinamis, sesuai dengan dialektika alam yang dinamakan bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat).

Berdasarkan falsafah masyarakat Minangkabau sebagaimana yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Minang cenderung hidup dalam alam pikiran yang penuh dengan konflik. Konflik yang saling berhubungan dan berbenturan, tetapi tidak saling melenyapkan. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Nasroen (1971) bahwa masyarakat Minang hidup dalam falsafah yang mengutamakan keseimbangan dalam pertentangan. Keseimbangan tersebut bersifat abadi tanpa harus melenyapkan pertentangan yang ada. Hal itu sangat menarik untuk diamati lebih jauh karena kekhasan masyarakat Minang dengan falsafah hidupnya yang unik yang dapat membedakannya dari suku bangsa lain di Indonesia. Bertentangan untuk berselaras. Berbeda untuk sama dan bersatu.

Penelitian ini dititikberatkan pada persoalan konflik yang merupakan konsep estetika yang nantinya akan diamati melalui novel berlatar Minangkabau. Sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia mencatat begitu banyak sastrawan yang berasal dari etnik Minangkabau yang telah melahirkan karya-karya besar yang sampai saat sekarang pun masih diakui keberadaannya. Sastrawan besar yang tidak hanya mengangkat persoalan kehidupan masyarakat asalnya, tetapi juga persoalan kehidupan masyarakat dari daerah lain juga tidak luput dari perhatian mereka.

Dalam penelitian kali ini tim peneliti memfokuskan perhatian pada karya yang berlatar Minangkabau yang tidak

2