Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/153

Halaman ini tervalidasi

Selain itu, perkawinan laki-laki Minang dengan wanita suku lain akan menyulitkan anak-anak yang lahir kelak dari perkawinan tersebut. Anak-anak tersebut akan dipandang sebagai orang asing. Di rumah bapaknya ia akan dipandang sebagai tamu, begitu pula sebaliknya, jika kembali ke tempat ibunya, ia juga akan dipandang sebagai orang asing oleh keluarga ibunya. Suatu malapetaka bagi laki-laki Minang jika suatu hari kelak ia ditinggalkan oleh istrinya dan kemudian anak-anak mereka ditinggalkan begitu saja dengan suaminya karena ia merupakan bapak yang harus bertanggung jawab terhadap anak-anak hasil perkawinan mereka. Malah terkadang anak-anak tersebut bisa telantar hidupnya karena tidak ada yang merasa berhak dan bertanggung jawab terhadap mereka. Kenyataan adat seperti itulah yang membuat Mak Amin diliputi perasaan cemas dan takut jika Ramli hanya menikahi perempuan asing. Untuk itulah, ia perlu sekali waktu mengambil istri dari kampung sendiri, untuk menjaga fungsi dan kedudukannya sebagai laki-laki. Minang dan menghindarkan kaum kerabat dari rasa malu.

"Oh, pikiran dan pandangan adat lain, Nak! Keturunan....Kalau engkau sudah nikah dan kemudian beranak dengan perempuan awak itu, barulah aku bersuka cita beroleh cucu, yang diakui oleh adat pusaka kita itu. Saripah, bahkan orang awak pun, akan riang-gembira jua. Aku kuatir, jika engkau beroleh anak dengan Suriati, anakmu itu akan terlantar. Tak diakui sebagai anak orang awak, sebab ibunya bukan orang Minangkabau. Dan keluaga Suriati pun tidak pula akan menerima dia dengan gembira, karena dia menjadi tanggung jawab bapanya, engkau sendiri. Jadi alangkah celakanya anakmu itu kelak, jikalau kamu ditinggalkan oleh istrimu. Atau kebalikannya, jika Suriati engkau tinggalkan hidup atau mati. Anak itu tidak ber"bako" dan tidak pula dipandang sebagai keluarga sejati dinegeri ibunya." (Iskandar, 2002:194).

141