Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/159

Halaman ini tervalidasi

engkau katakan sekampung, berninik mamak. Ninik mamak orang Padang hanyalah uang, kau tahu? Adat? Sedikit-dikit kami beradat. Sombong! Apakah engkau kira kami yang bukan orang Padang tidak beradat? Ya, itulah macamnya adat. Kalau kelihatan orang kaya yang mampu dan senang hidupnya dengan isterinya, semuanya hendak memeras dan semuanya hendak merampasnya menjadi suami. Itulah adat orang Padang......cis! Tak usahlah Upik, tak usahlah kau lihatkan adat Padang kepadaku, aku sudah tahu, semuanya. Kau datang kemari dengan mamakmu dengan ibumu. Semuanya pulang kembali, ongkos pulang balik mesti suamimu yang menanggung, belikan pula kain bajunya. Itulah adatmu yang engaku puja-puja itu dan itulah alamat berninik bermamak, semuanya hendak menghabiskan dan hendak mengupas kulitnya, memakan dagingnya dan kalau boleh hendak mengertuk tulangnya sekali. Adakah engkau datang kemari hendak membelanya? Tidak! Engkau hendak membelahnya, engkau bukan hendak menolongnya tetapi hendak menggolongnva. Katakan juga beradat negerimu itu! Saya sudah tahu engkau mengharapkan dibelikan sawah, dibuatkan rumah dan dibelikan gelang emas berlian, beli kain sepuluh peti. Sampai nanti kering suamimu itu dan kalau dia telah kering, sehingga kembali pula merantau dengan kemelaratannya, engkau akan minta talak dan minta cerai. Sebab engkau masih muda, dan engkau cari pula laki-laki lain: di negerimu seorang perempuan yang beradat boleh berganti janda sepuluh kali setahun! Bukan aku yang menumpang di sini, Upik, engkaulah yang menumpang......” (Hamka, 1977:96-97).


147