Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/167

Halaman ini tervalidasi

baru. “Kalau aku sudah bahagia, sudah jadi saudagar kelak, walau saudagar kecil sekalipun, tentu aku takkan hina benar lagi di mata orang (Iskandar, 2002:12).

Dua kutipan itu memperlihatkan sikap tokoh Marah Adil yang ingin mengubah nasib kehidupannya. Ia tidak ingin lagi dipandang hina oleh orang lain, khususnya mertuanya yang gila harta. Semangatnya untuk mengubah nasib didorong pula oleh keberhasilan orang sekampungnya di perantauan. Dalam pikirannya, ia juga pasti bisa berhasil dan memperoleh apa yang bisa diperoleh orang lain. Ja tidak ingin berkubang di sawah selamanya. Sekali waktu ia ingin mencoba penghidupan lain dengan harapan akan mengubah nasibnya dan nasib keluarganya.

Keinginan Marah Adil untuk mencari peruntungan lain didorong pula oleh rasa harga dirinya yang sering diinjak-injak oleh mertuanya. Ia ingin mempertahankan harga diri tersebut dan menunjukkan kepada mertuanya bahwa ia juga sanggup berbuat seperti orang lain. Ia juga sanggup mambahagiakan istrinya. Ia sanggup mencari harta dan mencukupi segala kebutuhan mereka. Semangat inilah yang membuatnya semakin yakin mencari peruntungannya di Lampung.

Ya, kalau ada orang baru pulang dari penggalasan sindiran Ibu itu tak tersudu oleh itik, tak tercotok oleh ayam. Mentuaku, beliau tajam mulut dan lancang bibir.” Ia gemetar sedikit kecut hatinya. “Tidak,” katanya pula dengan perlahan-lahan, “Tidak,...mulutnya mesti kusumbat dengan makanan yang enak-enak, matanya kututup dengan mata uang. Barangkali, kalau sudah demikian barulah akan berkurang angan-angannya (Iskandar, 20-02:13).

Dan Marah Adil betul-betul hendak mencapai cita-citanya, ingin hendak melunasi janjinya