Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/168

Halaman ini tervalidasi

kepada istrinya, ingin akan disegani dan disayangi oleh mentuanya, maka dalam tiga bulan saja ia sudah dapat kepercayaan induk semangnya (Iskandar, 2002:42).

Selain memiliki sikap mempertahankan harga diri, Marah Adil juga memiliki sikap yang pantang menyerah dan memiliki keberanian untuk menjalani sesuatu yang baru. Meskipun tidak memiliki saudara di Lampung dan juga tidak berbekal modai untuk berdagang, Marah Adil tetap memutuskan untuk pergi. Ia tidak takut menghadapi apa yang akan ditemuinya di rantau. Ia berkeyakinan bahwa jika ada niat, pasti ada jalan. Hal itulah vang mendorongnya untuk tetap memutuskan pergi meskipun tidak memiliki modal apa-apa, selain semangat dan keberanian untuk menantang hidup.

Lama ia membalik ke kiri dan ke kanan, gelisah tak keruan serta berpikir-pikir juga. Akhirnya ia pun berkata dengan tetap dalam hatinya, “Apa gunanya kuhiraukan benar perkara itu? Ada nyawa ada rezeki. Ikhtiar mesti dijalan-kan...jika aku sudah sampai ke Lampung, kucari akal kelak (Iskandar, 2002: 14).

“Sudah jadi adat kebiasaan kepada kita orang Minangkabau berjalan jauh, mengarungi lautan. Menggalas tidak membawa pokok dari rumah, melainkan pokok itu dicari sendiri di rantau orang. Pokok bagiku hanya izin istriku, izin adik, Lah! Asal adik lepas aku, adik mintakan doa selamat kepada Tuhan rabbulalamin setiap sudah sembahyang, senaglah dan tetaplah kira-kiraku. Mudah-mudahan aku selamat pergi dan pulang, dapat rezeki yang halal...(Iskandar, 2002:20).

Di dalam Sitti Nurbaya, sifat keras kepala Samsul Bahri dikemukakan secara tersurat di dalam kutipan berikut. Jika dipandang daru jauh, tentulah akan disangka, anak muda ini seorang anak Belanda,

156