Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/192

Halaman ini tervalidasi

nan kuriak kundi
nan merah sago
nan baiak budi
nan indah basa

Pantun tersebut mengandung makna bahwa yang baik adalah budi, sedangkan yang indah adalah bahasa. Pantun tersebut mengamanatkan pada kita semua bahwa baik dan indah itu sejalan adanya. Seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, begitulah budi dan bahasa itu dipandang. Budi yang baik akan melahirkan bahasa yang baik dan indah. Begitu pun sebaliknya, bahasa yang tidak baik akan memperlihatkan budi yang buruk. Dari sinilah muncul idiom budi bahasa (kiasan) kabau dipacik talinyo, manusia dipacik muncuangnyo (kerbau dipegang talinya, manusia dipegang mulutnya). Idiom itu mengandung arti bahwa kehormatan manusia ada pada kata-katanya. Seindah apa pun kata-kata manusia, jika tidak berbudi akan dipandang tidak baik juga. Begitu juga sebaliknya, biarpun berbudi jika tidak indah dipandang kurang sempurna. Setidaknya itulah yang diyakini oleh masyarakat Minangkabau.


Pembicaraan tentang estetika dalam sastra Minang- kabau sebaiknya dimulai dengan kato dalam budaya Minangkabau. Menurut Yusriwal (2003), secara linguistis kato dalam bahasa Minangkabau berarti kata dalam bahasa Indonesia. Selain itu, kato dalam bahasa Minangkabau jika dilihat secara kultural memiliki makna sebagai sebuah wacana yang mengandung kearifan, kristalisasi pengalaman, dan pengetahuan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam kebudayaan Minangkabau ada ajaran tentang kato, yaitu kato nan ampek (kata yang empat): kato mandaki, kato mandata, kato malereng, dan kato manurun. Unsur-unsur tersebut mengandung pesan agar menggunakan cara berbahasa tertentu untuk bertutur dan agar orang memperhatikan kawan bicara karena bahasa yang digunakan akan memperlihatkan budi pekerti penuturnya.180