Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/98

Halaman ini tervalidasi

Dalam Salah Asuhan, semangat dan perjuangan ibu Hanafi untuk kemajuan anaknya patut mendapat penghargaan. Orang Minang selalu berupaya agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Berbagai cara mereka upayakan agar putra-putri mereka bisa mengecap pendidikan. Menurut mereka, sekolah merupakan salah satu alat untuk mengembangkan diri dan mengangkat derajat agar kedudukan sama dengan orang lain. Masyarakat Minang juga meyakini bahwa bersekolah dan melanjutkan ilmu lebih utama dari segala-galanya. Untuk itulah, ibu Hanafi menyekolahkan anaknya ke kota yang letaknya jauh dari kampung halamannya. Setelah selesai sekolah pun, ibu yang gigih itu tetap berjuang mendapatkan pekerjaan untuk anaknya.

Tamat sekolah rendah, berpindahlah ia ke HBS, yang dijalaninya sampai tiga tahun. Sebab ibunya sudah merasa tua, dan lama pula merindukan anaknya, maka sekolah Hanafi diputuskan saja di situ, dan dengan pertolongan sahabat-sahabat ayahnya, kerana sangat pula ibunya meminta, dapatlah ia menjadi klerk di kantor Assisten Residen Solok. Tidak pun lama antaranya sampailah ia diangkat menjadi Komis (Moeis, 2002:23).

Sangat disayangkan bahwa usaha untuk mengembangkan diri kaum muda tersebut, pada akhirnya mengalami hambatan, baik oleh orang tua, mamak, maupun kampung halamannya. Pengembangan diri tersebut kemudian dikontrol dan dikendalikan oleh pihak-pihak tersebut. Banyak alasan yang menyebabkan mereka terhalang atau dihalangi dalam mencapai cita-cita.

Kekasih yang direbut orangm, dalam Sitti Nurbaya, memaksa Samsul Bahri meninggalkan sekolahnya. Mamak dan ayah yang menuntut dalam Pertemuan memaksa Masri untuk melupakan keinginannya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagitu juga halnya dalam Salah Asuhan, Hanafi dituntut mamaknya untuk berbakti pada

86