Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/143

Halaman ini tervalidasi
Riwajat Perkembangan Kebudajaan
daerah Jogjakarta.
(dihimpun dan disusun oleh: S. H. Koesoemo).
BAB I.
UMUM

MOTTO: Kawignjane wong Agung puniki, pan sadasa warna jen tan bisa, nista kutjiwa dadiné, dihin karem ing ngèlmu, kaping kalih bisa angadji, ping tiga bisa matja, ping sekawanipun, kudu alul anenurat, kaping lima wignjaa nitih turanggi, ping nemé bisa beksa.
Ping pituné kudu wruh ing gending, kaping wolu apan kudu bisa, tembung kawi tembang gedé, ping sanga bisa iku, olah juda gelaring djurit, wignja angadu bala, ping sedasanipun, limpat pasanging graita, wruh sasmita traping sila krama niti, wruh saniskaring basa.

SETIAP BANGSA dimuka bumi ini baik jang telah tinggi peradabannja, maupun jang masih sangat sederhana, tentu mempunjai kebudajaan sebagai buah hatsil utjapan djiwanja masing-masing jang dipantjarkan serta tergelar mendjadi kekajaan lahir/batin.

 Sedjarah kebudajaan beserta perkembangannja, tidak dapat dipisahkan dari pada djalannja sedjarah Daerah dimana bangsa atau suku bangsa itu hidup dan berada.

 Daerah Jogjakarta-Hadiningrat dan seputarannja dilahirkan sedari tertjapainja perdamaian antara Susuhunan Paku Buwono III dan Pangeran Arjo Mangkubumi jang berlangsung pada tanggal 13 Februari 1755 didesa Gianti daerah Karanganjar Surakarta.

 Pelantikan Pangeran Mangkubumi mendjadi radja Jogjakarta djatuh pada tanggal 11 Oktober 1755 dan bergelar Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Sénopati ing Ngalogo Ngabdurachman Sajidin Panotogomo Kalifatullah.

 Dengan terbaginja Keradjaan Mataram mendjadi Surakarta dan Jogjakarta buah hatsil perundingan perdamaian dan didjadikan pedoman dalam perdjandjian Gianti, maka dengan sendirinja timbullah masa suasana baru, hidup baru, aliran baru, tjorak ragam baru, pula dalam alam kebudajaan/Kesenian di Keradjaan Mataram dan Jogjakarta chususnja.

 Seperti sepandjang sedjarah jang kita kadji maka senantiasa terbukti terang bahwa sebagai sumber wadah, pusat Kebudajaan/Kesenian didalam dinding Keraton dimana ratu bertachta.

 Pada umumnja semasa tahun 1755 sampai dengan tahun 1830 maka orang kurang sekali melapangkan kesempatan untuk mentjurahkan perhatiannja atas tumbuh timbulnja Kebudajaan/Kesenian peninggalan leluhurnja. Apabila pada tempat pusat Kebudajaan begitu halnja, maka dapatlah kita gambarkan bagaimana keadaan daerah-wilajah mantjanegara jang djauh dari pada. Keraton itu. Hal tersebut diatas itu dapat mudah dimengerti, karena pada dewasa itu sumbu wadah kebudajaan tadi masih menderita dan menghadapi bermatjam-matjam kesukaran serta kesulitan antara lain seperti

113