Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/149

Halaman ini tervalidasi

tari-menari. Pameran pertama jang berupa wajang orang berlangsung pada tahun 1930. Usaha-usaha untuk mempersingkat waktu pertundjukan wajang jang biasanja _memakan waktu 12 djam atau lebih telah dilakukan. Pun pula untuk menarik perhatian para tourist atas seni-tari serta kerawitan Jogjakarta maka ,,Mardi Guna" telah mentjoba didalam waktu 2 djam para tourist sudah dapat kesan bermatjam ragam tari-tarian baik jang gagahan maupun alusan. Begitu djuga agar supaja tari-tarian klasik jang sepandjang sedjarah tidak pernah dipertundjukkan kepada chalajak ramai, dapat dikenal dan dinikmati oleh umum, maka berkat idzin Sri Sultan, usaha jang baik itu dapat dilaksanakannja.
Pada tanggal 17 Agustus 1918 maka Krida Beksa Wirama telah didirikan oleh tokoh-tokoh seni tari dan kerawitan. Ahli Seni tadi tak lain dan tak bukan ialah hamba sahaja Keraton Jogjakarta. Perkumpulan tersebut bermaksud mendorong serta memadjukan peladjaran seni tari serta kerawitan Kric;la Beksa Wirama sangat tampak pesat kemadjuan pada tahun 1930 sewaktu Jong Java dilebur mendjadi Indonesia Muda.
Pada tahun 1931 Krida mentjukupi harapan Madjelis Luhur Taman Siswa untuk memberi peladjaran tari-tarian pada perguruan kebangsaan tersebut. Krida beksa Wirama mendapat bantuan baajak sekali dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bukan sadja berupa idzin atau moreel sadja, melainkan pula bantuan jang berupa uang. Pada tanggal 16 Desember tahun 1939 maka di Djakarta (dulu Batavia) telah didirikan Tjabang Krida Beksa Wirama dibawah pimpinan Dr. Prijana.
Atas inisiatief R. M. Djajadipura maka pada tahun 1925 didirikanlah sebuah sekolah dalang jang diberi nama Habiranda, singkatan dari Hamurwani biwara rantjangan dalang. Pada waktu itu telah dirasakan kebutuhanaja untuk memperbaiki mutu para dalang. Habiranda ini mendapat tundjangan djuga dari Keraton.
Pada bulan Januari 1922 maka di Jogjakarta telah dimulai suatu usaha untuk mentjoba mempersingkat waktu pertundjukan wajang kulit.
Mardi Kagunan Djawi, suatu perkumpulan dari pada siswa-siswa untuk mentjintai seni budajanja sendiri.
Disamping perkembangan kesenian jang diusahakan oleh golongan masjarakat pertengahan itu, maka perkembangan setambul Djawi jang selandjutnja mendjadi Sandiwara Ketoprak itu, didaerah Jogjakarta tampak madju pesat. Bolehlah dikatakan ditiap-tiap kampung terdapat perhimpunan Ketoprak.
Dengan adanja model siaran Radio serta lahirnja Mavro, maka tumbuhlah banjak sekali perkumpulan-perkumpulan kerawitan seperti tjendawan dimusim hudjan, seperti Murbararas, Mardi genc;ling, Dajapradangga dan lain sebagainja.
Adapun kesenian jang dekat dan mudah dimiliki oleh masjarakat desa, ialah wajang kulit dan wajang topeng, wajang kulit dan wajang topeng itu sudah barang tentu tidak bisa dipisah-pisahkan dengan gamelan, nijaga, dan dalang-dalangja.
Didesa Ngentak serta desa-desa lainnja kelurahan Kedokan, ketjamatan Depok pada tahun 1938 masih terdapat rombongan pemain wajang-topeng. Malahan R. Pringgawihardja, lurah desa Prambanan mempunjai 8 buah topeng jang dianggapnja sebagai pusaka.
Rombongan wajang-topeng terdapat didesa Mlati, kelurahan Burikan, desa Warak, (Dalang Tjermokarso) desa Sejegan kelurahan Gentan, desa Turen kediaman

Pak Tjermowarsana dan Widipawira. Sebuah topeng Gunungsari dianggap pusaka ialah

119