Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/166

Halaman ini tervalidasi

e. Ḍalang-ḍalang di Jogjakarta umumnja tidak/belum baik antawatjana/bahasanja karena pengaruh tutur katanja (tjakap) sehari-hari kurang memperhatikan pada bahasa² peḍalangan, sedang mereka itu bersikap seperti a la Habiranḍa.
f. Keluaran Habiranḍa sudah banjak jang mempraktijkkan mendalang malah ada pula jang mendjadi Professional.

B. WAJANG.

 Sesudah ditanda tanganinja perdjandjian Gianti, bertachta Sri Sultan Hamengku Buwono ke: I: di Jogjakarta (Ngajogjakarta Hadiningrat). — 1755 — M. Waktu Pangéran Mangkubumi lolos dari Surakarta, Panatah kinasih jang bernama Djajaprana dengan anaknja jang baru berumur 16 tahun, mengikutinja.

TAHUN 1755 s

 Djalan Peperangan Gianti itu selalu berpindah-pindah menurut siasat. Ketika peperangan didaerah Kedu dan Bagelen Ki Djajaprana dengan anaknja jang bernama Penatas, bertempat di desa Danaradja daerah Wanasaba.

 Djaka Penatas kebanjakan turut aktif bertempur, dan sekali tempo pergi ke Danaradja, guna memberikan laporan kepada ajahnja, dimana tempat markas jang baru. Setelah ia turut berperang disekitar Tiḍar, dan Barisan Mangkubumen pindah ia tidak ikut, sebab sehabis peperangan itu ia kembali ke Danaradja menemui ajahnja; dan sesudah lapor kemenangan peperangan Tiḍar, ia segera ke Ngadiredja (Markas), akan tetapi sudah terdapat sepi, dan kemudian kembali ke Danaradja lagi. Disana Penatas meneruskan menatah wajang.

 Di Danaradja, Ki Ḍalang Djajaprana bertempat tinggal dirumah orang bernama Atak. Selama Ki Djajaprana disana kebutuhan hidupnja ditjukupi oleh Ki Atak. Sebagai pembalas budi, maka Ki Atak diberi peladjaran menatah wajang. Persaudaraan makin erat, dan Djaka Penatas dikawinkan dengan anak Ki Atak jang bernama Sutijah. Sesudah berbesanan itu, Djajaprana dan Penatas berpamitan akan menusul Gustinja, sedang Rara Sutijah ditinggal dengan sudah berbadan baik. Sctelah masanja, lahiriah anak Penatas itu dan dinamakan Bagus Riwong. Mulai ketjil ia senang turut menatah wajang seperti kakeknja (Atak).

 Peperangan berhenti, perdjandjian ditanda tangani, Sri Sultan Hamengku Buwono ke I bertachta di Jogjakarta. Empu Djajaprana dan Penatas meneruskan pengabdiannja. Keduanja menatah dan menjungging wajang purwa. Wajang jang dibawa dari Surakarta didjadikan blak (pola) pembuatan wajang seterusnja.

1. Wajang buatan ki Djajaprana, mewudjutkan gaja tari, jaitu andadap.
2. Wajang buatan ki Penatas, wandanja sama, akan tetapi tatahannja lebih halus dari pada tatahan Empu Djajaprana, dan mewudjutkan gaja berdiri.
 Sunggingan wajang kedua empu itu masih sangat bersahadja, jalah warna turunan; hanja bedanja sunggingan Empu Djajaprana itu hanja dihiasi dengan Tjawen (guratan) sedang sunggingan Empu Penatas, memakai drendjeman.
3. Ki Atak setelah mendengar kabar bahwa besan dan menantunja masih hidup, dan mengabdi ke Keraton Jogjakarta, lalu pergi ke Jogjakarta, sambil membawa wajang buatannja.