Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/167

Halaman ini tervalidasi

 Wajang buatan Ki Atak itu: pendek, gagah (kak-kong), jang sampai sekarang disebut wajang Kedu. Diwaktu Ki Atak pulang kembali ke Danaradja, maka Penatas mengikuti dan disana bertemu dengan anak bininja. Kemudian anak bininja dibojong ke Jogjakarta.

 4. Riwong, adalah gemar dan giat menatah serta menjungging. Wajang buatannja lain dari ketiga bentuk wajang jang telah ada (dari Atak, Djajaprana, Penatas). Blegernja wajang itu tidak kak-kong, tidak berdiri dan bukan gaja tari, akan tetapi diantara itu semua, jang istilahnja disebut „Prajung”.

 Tambahan Empu Riwong inilah jang terbagus dari semua penatah wajang. Tapak tatahan halus, akan tctapi masih kuat. Sedang tatahan Ki Djajaprana kuat, akan tetapi tidak halus: sedang tatahan bapa (Penatas) sama halusnja dengan tatahan Empu Riwong akan tetapi tidak kuat: tatahan sematjam tatahan Empu Penatas selandjutnja tatahan „ngrawang”. Sunggingan Empu Riwong seimbang sadja dengan sunggingan bapa dan kakeknja. Ja menambah sunggingan itu dengan kembang-kembang kaju apu dan pitjisan pada bagian badong wajang, jang istilah dalam sunggingan disebut bludir.

 Setelah dewasa Empu Riwong diambil menantu oleh Ki dalang Paku di Wadja, Kulonprogo, dikawinkan dengan anaknja perempuan bernama Rara Suprih.

 5. Dalam perkawinan ini mempunjai anak perempuan bernama Pamrih, dan anak laki-laki diberi nama Grenteng.

 Grenteng berbakat ḍalang, menḍalangnja bagus. Ketjuali mahir menḍalang, iapun dapat menatah dan menjungging. Ia madju sekali beladjar peḍalangan, terutama mengenai sedjarah wajang. Lakon-lakon dalam „Lajang Purwatjarita” sudah selalu ada diluar kepalanja (sangat hafal).

 Lain dari pada sunggingan tersebut diatas, ia menambah sunggingan dengan tjorak sebagai sinar, jang biasanja kelihatan dipajung kalau menelangkup, jang didalam istilah sungging dinamakan „Ijlatjapan”.

 Ketjuali menatah wajang kulit, ia pandai djuga mengukir kaju, dibuatnja berwudjut golek. Dan iapun mahir memainkannja golek itu.

 6. Lain dari pada Djajaprana dan Resapanatas, ada seorang dari Surakarta menjusul ke Jogjakarta, namanja asli tidak terang. Sesudah diterima pengabdiannja, ia diperbantukan menatah di Keraton djuga melajani pesanan-pesanan diluar Keraton. Kesimpulan penatah (pembuat wajang) diatas, adalah sbb.:

  1. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I penatahnja: Empu Djajaprana, dan Ki Resapanatas.
  2. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II penatahnja: Empu Djajaprana, Resopanatas dan Maraguna.
  3. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono III penatahnja: Resopanatas, Maraguna dan Riwong. (Ki Djajaprana sudah meninggal).
  4. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono IV penatahnja bernama: Resopanatas, Empu Riwong, (Ki Maraguna sudah meninggal).
  5. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono V penatahnja bernama: Resopanatas, Empu Riwong kembali ke Wadja, untuk menggembleng dalang Grenteng (anaknja).
II. Tahun 1830 s/d 1925.

6. Sepeninggal Empu Riwong, maka Empu Resopanatas mempunjai kader jang telah dididik menatah, bernama Kertiwanda.

133