Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/17

Halaman ini tervalidasi

tanggal 29 Rabiulakir 1680 (¹) atau 13 Pebruari 1755, perdjandjian penghentian peperangan ditandatangani. Perdjandjian itu disebut ,,Perdjandjian Gianti" atau ,,Palihan Nagari", karena pelaksanaannja ada didesa Gianti, salah satu desa ketjil dalam daerah Salatiga, dan isi perdjandjiannja itu jang terutama ,,membelah dua Negara Mataram", separo tetap dikuasai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III, dengan Ibukota di Surakarta, dan jang lain dikuasai oleh Sri Susuhunan Kebanaran, jang sedjak itu berganti gelar Sultan Hamengku Buwono I, Senopati ing Alaga, 'Abdu'rahman, Sajidin Panata Gama, Kalifa'tu'lah I (2).


Menilik gelagatnja, sesungguhnja dalam ,,Palihan Negari" ini Gubernur Hartingh jang merupakan djiwa perdjandjian itu, mempunjai rentjana lebih mendalam, jang bisa memberi djalan lebih lantjar dalam usahanja memperkembang, meluaskan pengaruh dan kekuasaan V.O.C. dalam daerah Mataram. Hal ini bisa dimengerti, karena Hartingh adalah satu-satunja kepertjajaan Gubernur Djendral Mossel. Ia mengenal betul akan adat-istiadat Djawa, bahkan sebelum ia mendjadi Gubernur di Semarang, ia pernah tinggal di Surakarta, melulu untuk beladjar bahasa Djawa. Tjara bekerdjanja Hartingh tidak sebagai rekan jang digantinja, van Hohendorff. Kalau rekan itu lebih menjukai kekerasan, adalah Hartingh lebih suka mengambil djalan sebagai ,,djuru selamat".


Teori Hartingh jang terkenal, ,,tiap-tiap kerusakan dan kekalutan Mataram, merupakan keuntungan bagi 'V.O.C.".


Dalam pembagian Negara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendapat bagian: separo dari Negara Agung, jaitu daerah-daerah sekeliling Negari (kedudukan Radja Keraton), luasnja 53100 karja, separo dari daerah Mantja Negara (daerah-daerah jang djauh dari Ibukota) 33950 karja, terdiri dari Madiun, Magetan, Tjaruban, separo Patjitan, Kertasana, Kalongbret, Ngrawa (sekarang: Tulungagung), Djapan (sekarang: Modjokerto, Djing (sekarang: Bodjonegoro), Teras-karas (?), Selo, Warung dan Grobogan (3).


Kalau kita memperhatikan peta bumi Negara Mataram jang berserta dalam buku ini, jang melukiskan pembagian daerah itu, kita dapat mengetahuinja bahwa Hohendorff dan Hartingh adalah orang jang sangat pandai melepaskan umpan, tidak sadja djangan sampai Sri Susuhunan Paku Buwono dan Sri Sultan Hamengku Buwono bisa mendapat kesempatan saling bergandengan tangan, tetapi bahkan dengan tjaranja membagi Negara itu, perpisahan, kalau belum boleh dikata permusuhan, antara kedua Radja itu tentu makin mendjadi menghebat dan makin meruntjing. Sebab daerah Ngajogjakarta-Adiningrat jang menjelip disana-sini didalam daerah Surakarta, demikian djuga sebaliknja, tentulah akan terdjadi pertengkaran-pertengkaran antara pihak jang satu dengan pihak jang lain, jang timbul karena perbedaan tjara pemerintahannja, tjara hidupnja, dan tjaranja berpakaian (4).

———
(1). Dalam buku Peringatan Keraton Surakarta", ,,Perdjandjian Gianti", atau Palihan-Nagari", diperingati dengan tjandra sangkala: Tunggal pangesti rasaning djanmi. Menurut tjandra sangkala, itu berarti 1681. Mungkin peringatan itu dibuat pada waktu pelaksanaannja membagi Negara.

(2) Dalam perdjandjian Gianti, R.M. Said tidak mengambil bagian, beliau dan kawan-kawannja masih terus melakukan perlawanan, tetapi 2 tahun kemudian barulahı meletakkan sendjata, ialah dengan berdirinja Pradja Kadipaten Mangkunegaran.

(3) Angka-angka pembagian itu jang lebih djelas, bisa kita batja didalam ,,De opkomst", jang mengikuti tjatatan Hartingh. Dalam perdjandjian ,,Palihan Nagari" itu, tidak sadja jang bersipat daerah, tetapi djuga Pusaka-pusaka Keraton, termasuk Gamelan Kiai Sekati, tjara-tjara berpakaian kebesaran, djuga dibagi, dengan maksud supaja kekuasaan Mataram lahir batin, harta benda d.l.l. benar-benar dibagi dua ,,seadil-adilnja".

12