Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/174

Halaman ini tervalidasi

8. Geraknja wajang bambangan dari pertapaan diiringi dengan ajak-ajak.
9. Kembalinja Séna dari tajungan dengan ajak-ajak.
10. Sulukan, ada jang disebut: lagon, hada-hada, suluk Plentjung, suluk Djingking, suluk Galong, Tlutur dsb.
11. Tantjep kajon (penutup) disertai sampak manjura dan diteruskan dengan gending Gondjang-anom sebagai tanda bubaran.

Sebagai sumber tjeritera wajang-kulit ragam Jogjakarta ialah kitab: „Lajang Purwatjarita” dan seterusnja dengan tertjiptanja kitab: „Serat Purwakanda” maka makin bertambahlah djumlah lakon-lakon wajang. Sebagian besar lakon-lakon jang berlaku di Jogjakarta ini disebut lakon baku, sedang lakon-lakon tjarangan (tjabang) sebagian besar menggubah dari Surakarta atau gubahan perseorangan.

Selain adanja lakon-lakon baku dan tjarangan ada pula lakon seloka jang berbentuk baru sindiran zaman, seperti „Pradjabinangun”, gubahan Sdr. Rijasudibjaprana (Basor), pegawai Kementerian Penerangan R.I. Jogjakarta. *) Tjeritera lainnja ialah: „Gunturwisésa dan Nusabinéka”.

Sebuah kitab tuntunan pakeliran peḍalangan langgam Jogjakarta telah dapat ditjetak serta dikeluarkan oleh Balai Pustaka dengan tjeritera, „Rabinipun Surjatmadja” gubahannja almarhum Kartaasmara.

Madjallah „Pandjangmas” jang diterbitkan oleh Pagujuban Anggara Kasih telah banjak melontarkan lakon-lakon dengan tehnik pakeliran Jogjakarta pada tiap penerbitan.

Disamping tjeritera-tjeritera jang sumbernja dari kitab-kitab tersebut diatas, maka kini telah banjak terdapat pula lakon-lakon jang asalnja dari kitab „Pustakaradja”, serta dari tersiarnja kitab-kitab peḍalangan ragam Surakarta.

Pun pula disebabkan tjeritera-tjeritera itu dilontarkan oleh rombongan-rombongan wajang-orang, tambahan lagi hubungan antara dalang-dalang Jogjakarta dan Surakarta makin hari makin baik.

Kalau orang akan melihat pertundjukan wajang-kulit sampai tamat, maka berarti ia harus berdjaga semalam sentuk. Berhubung dengan keadaan zaman baru, maka sangat dirasakan perlu adanja usaha-usaha untuk mempersingkat waktu pertundjukan wajang-kulit dengan tidak mengurangi nilai-nilai tinggi didalamnja. Dalam soal ini pulalah Jogjakarta keluar sebagai pelopor. Habiranḍa melaksanakan penjingkatan waktu ini pada waktu udjian penghabisan siswa-siswanja.

Atas usaha Panitya Permanent Pertundjukan Wajang-kulit untuk anak-anak sekolah, maka telah berkali-kali diselenggarakan pertundjukan wajang-kulit hanja 4½ djam lamanja.

Malahan pada tahun 1955 diadakan lagi suatu pertjobaan penjingkatan waktu jang sangat berani, tidak 4½ djam melainkan 2½ djam. Teknik pakelirannja disusun oleh Sdr. Rijasudibjaprana dan peḍalangannja dilakukan oleh R. Bekel Tjermawitjara.

Kalau dikala dahulu dilakonkan oleh seorang dalang butahuruf, lalu meningkat dalang keluarga Sekolah Rakjat atau pernah sekolah di S.R. maka kini di Jogjakarta seni pedalangan telah mendapat perhatian serta dipeladjari dengan giat oleh beberapa
__________
*) Lakon-lakon jang digubah setjara ini, sampai sekarang masih belum bisa mendapat tempat didalam lapangan kesenian wajang kulit.

138