Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/176

Halaman ini tervalidasi

Pada beksan „Lawung gagah” gending-gending jang dipakai untuk mengiringi ialah: „RUMING TAWANG” untuk lawung Djadjar, dan „BIMA KURDA” untuk Lawung Lurah. Selain itu masih ada jang dinamakan beksan „GELAS" atau „Gendul”, biasa djuga disebut beksan „MADURA” dalam rangkaian beksan „TARUNA DJAJA”.

Pada tahun 1792 waktu Sri Sultan Hamengku Buwono ke II menggubah sebuah tari BEDAJA serupa dengan bedaja KETAWANG di Surakarta, jasan Sri Sultan Agung, dinamakan „BEDAJA SEMANG”. Bedanja ini mentjeriterakan pertemuan antara Sri Sultan Agung dengan Njai Rara Kidul.

Konon ditjeriterakan pula bahwa semasa bertachtanja Sri Sultan Hamengku Buwono ke II di Keraton Jogjakarta telah diselenggarakan pertundjukan wajang-gedogdalam bentuk wajang-orang dengan iringan gamelan pelog.

Jasan Sri Sultan Hamengku Buwono ke I berupa wajang-orang mengambil tjeritera „Gandawardaja”.

Jasan Sri Sultan Hamengku Buwono ke II wajang orang dua buah tjeritera antara lain „Pragolamurti”.

Sedjak Sri Sultan Hamengku Buwono ke III sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwono ke IV karena keadaan pergolakan dalam Keraton, kesenian tidak mendapat perhatian. Baru sedjak Sri Sultan Hamengku Buwono ke V (1822 -— 1855) seni tari mendapat perhatian lagi. Pudjangga Keraton jang ternama waktu itu ialah B.P.H. Surijawidjaja. Banjak tjeritera-tjeritera untuk wajang-orang waktu itu digubah antara lain: Lakon Pregiwa-Pregiwati.*)

Djajasemèdi, dan Petruk djadi Ratu. Pada tiap-tiap bulan Ruwah tentu mengadakan pergelaran wajang-orang.

Dapat dibajangkan bahwa pada waktu itu telah didapat banjak penari. Ḍalang jang mentjeriterakan djalannja wajang pada waktu itu belum mempergunakan buku tjatatan (buku kanḍa) seperti sekarang ini, tetapi merupakan apalan. Terkenal djaman itu seorang ḍalang Tjebol. Dan baru pada djaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VI djalannja tjeritera dibuatkan tjatatan tertulis berupa buku, biasa disebut „serat kanḍa” (hingga kini di Surakarta masih tjara jang lama, tidak memakai tjatatan tertulis).

Pada djaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke V menggubah „Eṭèng” jang sebelumnja itu telah ada djuga gubahan Sunan Puger (Paku-Buwono ke I) dari Keraton Kartasura (dalam abad ke 17). Beksan ini dilakukan oleh empat orang penari alus bersendjata keris dengan djebeng (sematjam perisai) merupakan ksatrija jang diadu perang, dan empat orang penari botoh, jang djuga memakai tameng menarikan gaja gagah. Masih ditambah lagi empat penari pelajan, merupakan tarian penuh gerak-gerak dan adegan lelutjon (dagelan).

Karena adanja larangan-larangan untuk mengadakan dan mengadjarkan tarian berdiri serupa seperti di Keraton, maka banjak usaha-usaha untuk mentjiptakan bentuk-bentuk tari berdjongkok atau djengkeng. Pada tahun 1878 (djaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono ke VI) Raden Tumenggung Purwadiningrat, putera Sri Sultan Hamengku Buwono ke III kakak Raden Tumenggung Wiraguna, scorang ahli dalam lapangan seni kerawitan (pentjipta titi-raras ranté jang hingga kini masih diper- ___________

  • ) Dapat ditambahkan disini, bahwa pada tahun 1899 didalam suatu pertundjukan wajang-orang dengan tjeritera Pregiwa-pregiwati maka Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII (sewaktu masih Pangeran Purubaja) ikut serta menari mendjadi Angkawidjaja. Pangeran Adipati Anom mendjadi Gatutkatja, P. A. Natapradja mendjadi Pregiwa dan P. A. Tedjakusuma mendjadi Semitra.

140