Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/184

Halaman ini tervalidasi

Pada kira-kira tahun 1943 maka dimulailah oleh angkatan muda untuk dari sedikit kesedikit meninggalkan tradisi bahari dalam mengadakan tari-tarian bersama putera-puteri didalam peranan tari-tarian wajang, beksan petilan dan sebagainja. Pun pula melantjarkan tari-tarianjang berbentuk tjeritera atau sebagian dari sesuatu tjeritera tidak lagi dari wajang purwa, wajang geḍog atau Ménak, melainkan dari kitab-kitab sedjarah atau kesusasteraan seperti: Pararaton, Lutung Kesarung dan sebagainja.
Pada tahun 1921 Sri Sultan Hamengku Buwono VII berkenan memberi idzin kepada Kriḍa Beksa Wirama untuk memberi peladjaran tari bec;laja kepada siswasiswanja. Dalam hal ini K.G.P. Adipati Anom jang kcmudian mendjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sangat banjak djasanja. Dengan demikian maka semendjak itu tari Beḍaja tidak dimiliki dan dinikmati sebagian lapisan masjarakat sadja, melainkan masjarakat umum mulai melihat, menikmati, memudji dan ikut serta menjelenggarakan sebagai milik masjarakat ramai. Tari Golek jang sangat masjhur digemari oleh masprakat berkembang biak merata sampai meluas keluar daerah Jogjakarta.

MELUASNJA SENI-TARI.

Putera-puteri Jogjakarta telah banjak menjumbangkan tenaganja kepada usaha-qsaha Pemerintah dalam lapangan kesenian untuk keperluan tukar-menukar kesenian antar Indonesia serta dikirimkan keluar Negeri jang mendapat hatsil gilang-gemilang.
Dalam masa pembangunan ini maka mulai tahun 1950 masjarakat angkatan muda sibuk membuat pertjobaan-pertjobaan serta mentjiptakan tari-tarian baru seperti: Sarita, Jogaprana, Kuda-kuda, Lajang-lajang, Langensekar dan sebagainja.
Apabila tadi telah terlihat kemadjuan serta perkembangan seni tari pada umumnja mendapat sambutan serta perhatian masjarakat, maka seni-tari wanita untuk keperluan tanggapan jang kini disebut Waranggana kelihatan mundur. Kader-kader jang terdidik tidak ada, sehingga untuk keperluan peralatan pada perkawinan, chitanan dan sebagainja masjarakat Jogjakarta terpaksa mendatangkan Waranggana-waranggana dari lain daerah. Hal ini disebabkan karena pada umumnja orang masih memandang rendah kepada seni tari Waranggana berhubung dengan pengalaman-pengalaman jang kurang sedap dipandangan. Seni tari Waranggananja sendiri memang baik Akan tetapi memang ada jang mengatakan sebagai ibarat: Sebatang pohon bunga jang indah didalam waḍah jang murah. Oleh karena itu maka kini masjarakatlah jang wadjib memberi ganti atau memperbaiki waḍah pohon bunga jang indah permai itu.
Dua peristiwa penting di Jogjakarta Hadiningrat jang perlu ditjatat ialah pertukaran kesenian tiga Daerah Jogjakarta, Surakarta dan Djawa Barat jang pertama diselenggarakan oleh Djawatan Kebudajaan pada tahun 1953 dan last but not least Seminar Ilmu Kebudajaan diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada jang antara lain dikupas bahas. Gamelan dan Tari dipandang setjara musikografis pada tanggal 27 Djuni 19.56 jang diutjapkan oleh Prof. IL Purbadiningrat serta Ki Sindoesawarno Guru pada Konservatori Kerawitan Kementerian P.P. dan K.

_____________

146