Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/19

Halaman ini tervalidasi

Pada suatu hari ada seorang hamba tukang sabit (pakatik) mentjari rumput dihutan Beringan, demikianlah salah satu legende jang sangat populair. Ia sangat haus, mentjari air tidak bisa dapat. Setelah ia mentjari dibeberapa tempat tidak berhasil, tahulah ia beberapa ekor burung kuntul terbang menudju kesalah satu tempat didalam hutan itu. Dengan demikian mendugalah ia bahwa tempat jang ditudju oleh burung- burung itu, tentu kolam atau danau, atau paling sedikit mata-air. Karenanja dengan tjepatnja djuga ia menudju ketempat itu. Ternjata dugaannja tidak salah. Tempat burung-burung mentjari makan itu, adalah sebuah kolam jang sangat djernih airnja. Tetapi pada waktu ia akan meminum, terkedjutlah ia, karena sekonjong-konjong ia berhadapan dengan seekor Naga besar.

Hai, djanganlah kau melarikan diri, tukang sabit”, kata Naga itu ketika melihat orang itu akan melarikan diri, ,,saja adalah Kiai Djaga, jang mbaureksa (mendjaga keselamatan) hutan ini. Sampaikanlah kepada Radjamu, bila beliau mentjari tempat untuk Ibukota, hutan Beringan inilah jang terbaik”, demikian pesan Naga kepada hamba tukang sabit itu.

Dengan buru-buru hamba tukang sabit itu menghadap Sri Sultan, jang pada waktu itu masih ada di Pesanggrahan Pura-para, jang letaknja ada disebelah Barat hutan Beringan, untuk menjampaikan pesan Naga tersebut.

Inilah sebabnja maka Sri Sultan Hamengku Buwono I lalu menitahkan untuk membabad hutan Beringan, sebagai tjalon Ibukota negara Ngajogjakarta-Adiningrat. Konon didongengkan lebih djauh, bahwa setelah Ibukota berdiri, dan sebagai pusat pandangan Sri Sultan pada saat-saat duduk dimahligai (mijos sinewaka), dititahkan mendirikan sebuah Tugu disebelah Utara Keraton, Kiai Djaga bertempat pada Tugu tersebut.

Didalam legende ini menjelip dua nama jang meminta perhatian, Kiai Djaga dan Tugu. Perkataan djaga mempunjai arti defensi, persiapan untuk membela diri didalam segala kemungkinan. Lambang ini bila disesuaikan dengan pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono I, sangat tepat benar. Beliau adalah terkenal sebagai scorang Pahlawan Mataram jang sangat pandai membuat siasat perang. Dengan demikian, kalau beliau telah menundjuk hutan Beringan untuk tjalon Ibukota, tentulah telah dipeladjari dalam-dalam, dan pusat perhatiannja ditudjukan kepada ,,pertahanan”. :

Kemudian Kiai Djaga beralih, menempati Tugu, jaitu pusat pandangan Baginda pada saat-saat mijos simewaka, demikian disebut-sebut dalam legende itu. Untuk mengupas ini, hendaknja harus mengetahui dahulu, apakah sebenarnja jang biasa dilukiskan dengan bangunan ,,tugu”. Tugu adalah pendjilmaan dari ,,Lingga”. Dalam faham Djawa, adalah lambang pertemuannja (kesatuan) antara ,,Purusha” dan ,,Pacrity” lambang ,,pokok kekuatan alam”. Dalam Pemerintahan (politis), jang mendjadi kekuatan Negara adalah kesatuan antara jang memerintah dan rakjat, jang pada umumnja dalam istilah Djawa disebut ,,manunggale kawula lan Gusti”.

Hal ini diketahui benar-benar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, karena penuh- lah beliau mendapat pengalaman sclama memimpin perlawanan-perlawanan, hanja kesatuan antara Pemimpin dan jang dipimpinlah jang menjebabkan beliau mendapat succes besar. Inilah sebabnja maka pada hakekatnja, benar djuga Kiai Djaga bertempat di dalam Tugu, jang mendjadi pusat pandangan Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam saat-saat Baginda duduk sinewaka. Karena dengan memandang Tugu, Baginda selalu ingat bahwa ,,hanja dengan persatuannja Pemimpin Negara dengan rakjat” sadja jang dapat mendjaga keselamatan Negara.

14