Dengan demikian, mustail sekali bila pilihan letaknja Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat itu tidak diselidiki dari sudut lahir dan batin lebih dahulu, hanja siapakah
Panitia jang diperintahkan untuk melakukan penjelidikan itu, tidak disebut-sebut
didalam sedjarah, ketjuali pribadi Sri Sultan sendiri, bahkan disebut-sebut beliau
sendiri pulalah jang menentukan bentuk dan ukurannja (1). Demikian djuga tentang
pembangunannja, karena sedjak muda, pada waktu masih ada di Kartasura, beliau
memang terkenal sebagai ahli bangunan.
Hubungannja pembangunan Taman Sari demikian djuga, Taman Sari adalah
salah satu tempat istirahat, jang letaknja ada disamping Keraton sebelah Barat, jang
oleh orang-orang Barat dikenal sebagai satu-satunja ,,waterkastcel” di Djawa.
Dalam sedjarah-sedjarah Jogjakarta banjak disebut, bahwa pembangunan
Taman Sari itu dikerdjakan oleh seorang Portugis, tetapi kalau benar demikian, tentulah bangunan Taman Sari itu paling sedikit berbau tjorak Portugis, sedang Prof. P.J. Veth dalam bukunja ,,Java” telah membantah pendapat-pendapat itu, sebab olehnja ditegaskan, bahwa Taman Sari itu, adalah bangunan tjorak Djawa asli. (2).
Dugaan bahwa pemilihan tempat untuk Ibukota lebih tjondong kepada ,,pertahanan”, dapat diperkuat dengan berdirinja bangunan Taman Sari, jang boleh dikata sebagai sebagian daripada Keraton. Pada lahirnja Taman Sari adalah merupakan tempat beristirahat untuk mendapatkan sckedar hiburan. Tetapi siapa jang telah menjelidiki ,,Waterkasteel” ini dengan sesungguhnja, terutama pada bagian-bagian sebelah dalam, diantaranja terdapat djuga djalan-djalan ketjil didalam tanah jang menembus kebeberapa djurusan, berbeluk-beluk, diantaranja ada jang menembus sampai keluar kota, tentulah ia bisa menarik kesimpulan lain, lebih dari tempat istirahat biasa.
Bukan hanja tempat untuk beristirahat, sekedar untuk mendapatkan hiburan
jang sewadjarnja, tetapi pada hakekatnja mempunjai arti lain, jang berdasarkan dengan pertahanan.
Kalau Sri Sultan Hamengku Buwono memerlukan pertahanan dengan tjara
demikian, memang bisa dimengerti.
Sebagai sudah dikatakan pada bagian atas, bahwa beliau adalah seorang Pahlawan besar, jang sedjak masih ada di Kartasura sudah diakui, baik oleh rakjat Mataram sendiri, maupun oleh musuh-musuh Mataram. Kenjataan ini dapat dibuktikan pada perlawanan-perlawanan beliau cs. sedjak beliau meninggalkan Surakarta. Dengan
demikian, tentulah beliau tidak akan bisa melupakan tentang kedjadian-kedjadian
jang menjebabkan Kartasura pernah djatuh ditangan musuh (Geger Patjina). Pada
waktu itu, dengan serbuannja musuh jang kekuatannja tidak seberapa, hampir sadja
Sri Susuhunan Paku Buwono II tertangkap, pada waktu beliau dengan pengiringnja
(1). Ukuran (tjengkal) jang dipakai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada permulaan menentukan bentuk dan luasnja Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat itu, sampai sekarang masih disimpan didalam Keraton Jogjakarta, sebagai sebuah diantara banjak Pusaka jang dipandang sutji, pandjangnja l.k. 3,25 meter, terkenal dengan nama Kiai Baladewa.
(2). Dalam hal ini kita diperingatkan akan sedjarah Barabudur. Orang mengatakan bahwa Barabudur
didirikan oleh Empu Gunadharma. Tetapi kalau benar demikian tentulah tjorak bangunannja mengcopy dari bangunan-bangunan Hindu, hingga dengan demikian tentulah bangunan purbakala
disana ada jang mirip tjorak Barabudur. Tetapi kenjataannja tidaklah demikian, disana sama sekali
tidak ada bangunan purbakala jang mirip Barabudur, bahkan orang-orang India sendiri sangat
kagum melihat keindahan dan sempurnanja Barabudur. Dengan demikian tidak terlalu menondjolkan diri, bila kita mengatakan bahwa Barabudur adalah bentuk dan tjorak bangunan Djawa asli.
Demikian djuga dengan halnja Taman Sari.
Karenanja bisa ditarik kesimpulan, bahwa baik Empu Gunadharma dalam pembangunan Barabudur, baik orang Portugis dalam pembangunan Taman Sari, kedudukannja hanja sebagai tenaga biasa, jang dipimpin oleh Insinjur-insinjur Djawa asli.
15