Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/24

Halaman ini tervalidasi

Karenanja kita bisa menarik kesimpulan, bahwa Pesanggrahan Ngambar . Ketawang itu, sebelum ,,Perdjandjian Gianti” mungkin sudah ada. Dugaan ini dikuatkan dengan kata-kata orang jang sudah lewat umur, bahwa Pesanggrahan itu sebelum bernama Ngambar Ketawang, dikenal orang dengan nama Purapara jang artinja adalah gedung untuk tempat pada waktu orang tengah didalam bepergian (papara).

Bila keterangan itu kita hubungkan dengan sedjarah hutan Beringan, jang berasal daripada kata-kata ,,pabrengan”, jaitu tempat untuk memberi tanda-tanda pada waktu orang ramai-ramai berburu hewan dihutan (pada djaman Mataram), maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa besar kemungkinannja Pesanggrahan Ngambar Keta- wang itu sedjak djaman Mataram sudah ada, gunanja hanja untuk pesanggrahan pada waktu Baginda dengan pengiringnja sedang berburu (mbedag-pikat) hewan ada di- hutan Beringan. (1)

Dalam pembangunan Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, bckas-bekas tempat perburuan hewan itu atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono I tidak dirusak semua,

sebagian ketjil masih berwudjud hutan, letaknja ada dibelakang Keraton, jang selandjutnja diberi nama Krapjak. Dalam hutan ketjil itu masih hidup kidjang-kidjang, rusa-rusa dan lain-lain hewan hutan. Pada masa-masa jang ditentukan, Sri Sultan Hamengku-Buwono-pun berkenan berburu djuga disitu.

Berapa lamanja Sri Sultan Hamengku Buwono I beristana (masanggrahan) ada di Ngambar Ketawang sambil mengawasi pembangunan Keraton Jogjakarta, dapat dihitung menurut tjatatan-tjatatan jang terdapat pada Kepudjanggaan Keraton Ngajogjakarta: :

Sebagai sudah dikatakan diatas ,,Perdjandjian Gianti” terdjadi pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, mulai pada hari Kemis-pon tanggal 3 Sura-Wawu 1681, atau 9 Oktober 1755, masanggrahan ada di Ngambar Ketawang (2), dan kira-kira setahun kemudian, setelah sebagian dari bangunan-bangunan didalam Keraton selesai, Sri Sultan berkenan memasuki Keraton pada hari Kemis-paing tanggal 13 Sura- Djimakir 1682 atau 7 Oktober 1756. Untuk sementara waktu, Baginda menempati Gedung Sedahan. Kepindahan Baginda itu, diperingati dengan lukisan dua ekor Naga jang ekornja saling melilit, ditempatkan diatas ,,Banon renteng-kelir” (3) pada Gapura Delekang Lukisan itu biasa disebut dalam istilah Djawa ,,Tjandra sengkala memet”, artinja: angka- angka dari tahun Djawa jang dilukiskan dengan kata-kata jang “berwudjird gambaran. Gambaran itu berbunji ,,Dwi naga rasa tunggal = 1682.

Pokok dari Keraton sendiri luasnja 4.000 m2, dikelilingnja dengan beberapa gedung, jang mempunjai nama berbeda-beda, menurut kepentingannja dimasa lampau. (Lihatlah peta Keraton pada muka....).



(1). Berburu hewan didalam hutan, bukan hanja berarti untuk bersenang-senang sadja, tetapi jang terpenting dipergunakan untuk latihan : keberanian, ketabahan hati, ketjakapan memainkan sendjata tadjam, tongkat pandjang d.l.l. Dalam saat-saat demikian Baginda mengawaskan dengan teliti, untuk mengetahui ,,kekuatan" lahir batinnja para hamba-hambanja, terutama jang memegang peranan penting dalam Ketentaraan.
(2). Pada waktu Sri Sultan Hamengku Buwono I masanggrahan ada di Ngambar Ketawang, diperingati ' dengan Tjandra-sangkala ,,Pak Dipa ngupakara anake = 1681.
Perlulah diketahui, kalau perkataan ,,ngupakara" diartikan ,,watak enam", adalah pada masa itu Baginda baru, berputera 6 orang.

(3). Tembok serupa perisai, didirikan pada sebelah dalam regol (gapura), kepentingannja: supaja orang tidak dapat berbuat apa-apa langsung: dari luar.

18