Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/25

Halaman ini tervalidasi

Tetapi atas kehendak Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sedjak kemerdekaan dapat kita rebut kembali dari tangan orang asing, maka mulai dari Pagelaran sampai pada Bangsal Witana dan kanan kirinja, dipergunakan untuk kepentingan Universitas Negeri Gadjah Mada, Perguruan tinggi kebangsaan jang pertama kali didirikan sedjak lahirnja Republik Indonesia.

Keraton diapit oleh dua alun- aka disebelah utara dan disebelah selatan. Jang pertama biasa disebut ,,alun-alun-Lor”, dan jang belakangan disebut ,,alun-alun-Kidul” atau ,,alun-alun Pengkeran”.

Didjaman jang lampau, kedua alun-alun itu mempunjai arti jang penting sekali bagi Negara, karena disitulah tempat jang akan menentukan kekuatan lahir batinnja alat kekuasaan Negara, sebab pada tempat itulah para Pradjurit dan para Prewira sama berlatih untuk mempergunakan sendjata dalam pertempuran scorang melawan seorang, menjerbu barisan dengan berkuda, dan lain-lain tjara lagi jang berkenaan dengan kepentingan peperangan dimasa itu.

Sekali setahun, dialun-alun diadakan keramaian ,,rampogan”, jaitu ,,adjar kenal” dengan harimau buas, dengan mempergunakan sendjata tadjam atau tongkat.

,,Rampogan” merupakan keramaian umum, sebab dalam saat-saat ada ,,rampogan” penuhlah alun-alun dengan rakjat djelata, jang sama datang dari desa-desa jang djauh. Pada hakekatnja ,,rampogan” bukannja hanja berarti keramaian atau hiburan sadja, tetapi untuk berlatih ketabahan, keberanian dan ketjakapan melawan musuh dan membela diri. Dengan demikian ,,rampogan” merupakan kelandjutan dari kebiasaan ,,berburu” (mbedag-pikat) dihutan-hutan pada djaman itu.

Pada tengah-tengah alun-alun Utara, ada sepasang pohon beringin, masing-masing berkurung. Inilah sebabnja biasa disebut orang ,,waringin kurung”. Jang sebatang bernama ,,Kiai Dewa-daru”, dan jang lain ,,Kiai Djaja-daru” atau ,,Djana-daru”. Sebagai halnja filsafat ,,Tugu” dalam arti Negara, kedua batang pohon beringin inipun merupakan lambang pertemuan antara hidupnja Dewa dan Umat manusia (manunggale Kawula lan Gusti).

Kalau kita berdiri di Bangsal” Witana (kini mendjadi sebagian dari tempat kuliah Universitas Negeri Gadjah Mada), memandang 180 deradjat ke Utara, sebagai tjaranja Sri Sultan Hamengku Buwono pada djaman jang lampau dalam saat-saat duduk sinewaka, mata kita akan bertemu dengan 3 titik, pertama sepasang beringin: Kiai Dewa-daru dan Kiai Djana-Daru, kemudian ditengah-tengahnja kedua (antara Dewa dan manusia) titik itu, mata kita bertemu lagi dengan titik lain jang djauh letaknja, jaitu Tugu, lambang pertemuan antara ,,Purusha” dan ,,pacrity” (positief dan negatief), pokok. kekuatan alam. Dengan memusatkan pandangan dan tekad pada titik-titik jang tiga itu, dapatlah kita meraba tentang sebab-sebabnja mengapa Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan senang memerlukan mentjiptakan filsafat Tugu dan beringin kurung sepasang.

Lain dari pada itu, didjaman jang lampau, sepasang beringin kurung itu djuga merupakan tempat rakjat jang ingin ,,hogerbcroep” kepada Baginda dalam sesuatu hal jang dirasanja tidak adil, baik berkenaan dengan keputusan Pradata (Hakim), maupun berkenaan dengan perlakuan-perlakuan pihak atasan kepadanja.

Orang jang menuntut keadilan jang tertinggi (dari Baginda sendiri) itu, lebih dahulu berpakaian serba putih, berkudung putih pula, duduk diantara kedua batang beringin kurung itu. Sedemikian tjepat diketahui oleh Baginda atau tokoh-tokoh Agung

19