Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/26

Halaman ini tervalidasi

akan halnja orang jang pépé, demikian nama orang meminta keadilannja Baginda. dengan mempergunakan tjara itu, seketika itu djuga didjemput dan terus dihadapkan kepada Baginda untuk mengadukan sendiri keketjewaan hatinja. Dalam waktu itu djuga Dewan Pengadilan Agung, jang dihadiri oleh Baginda bersidang, untuk memberikan putusan. Bagaimana djuga sifat keputusan itu, diterima djuga dengan kepuasan hati oleh orang jang bersangkutan itu.

Dengan berlakunja tjara ber-„pépé” ini, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa apa jang dikatakan „Hak azazi” dari tiap-tiap manusia, tidak peduli ia dari lapisan apa djuga, pada djaman jang lampau telah diakui djuga, hingga bukan merupakan barang kelahiran baru, bukan pula barang import.

Disebelah Barat dari Alun-alun Utara, berdirilah sebuah Masdjid Besar, jang didirikan atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono, bersamaan dengan bangunan Ibu kota Ngajogjakarta-Adiningrat. Masdjid ini bersusun tiga menurut stijl Masdjid Demak, Masdjid jang pertama kali didirikan di Indonesia, setelah djatuhnja Madjapait.

Bukan hanja bentuknja rumah sadja, tetapi pelatarannjapun mengikuti Demak, diantaranja termasuk tentang adanja blumbang (kubangan) jang selalu penuh dengan air-hidup (air jang mengalir) sebagai lambang kesutjian.

Selain itu berbeda dengan Masdjid-masdjid discluruh Indonesia, ketjuali Masdjid Surakarta, pada kanan kiri pelataran sebelah muka, ada sepasang bangsal ketjil, jang melulu disediakan untuk tempat gamelan „Kiai-Sekati” dan „Njai-Sekati”, pada waktu merajakan hari raja Grebeg Mulud, Sawal dan Besar. Pada saat-saat demikian sepasang gamelan pusaka dari djaman Demak itu ditabuhnja ganti-berganti. (¹).

Dalam peringatan jang kita dapati dari pihak Kepudjanggan, Pengulu pertama jang diserahi mengurus Masdjid itu, adalah Kiai Pengulu Sech Abodin.

Sampai sekarang kita masih bisa melihat beberapa bangsal ketjil-ketjil dengan bentuk „djoglo” disekeliling tepi alun-alun, jang sekarang dipergunakan untuk berbagai kepentingan Negara. Didjaman jang lampau, gedung ketjil-ketjil itu disebut „Pakapalan”, gunanja untuk tempat menghadapnja para hamba-hamba Kasultanan, mulai dari Pepatih-Dalem (Rijksbestuurder) dan para Bupati jang telah diperkenankan memakai upatjara: rontek, daludag, umbul-umbul dan songsong agung (semuanja upatjara kebesaran) sampai kepada Panewu Mantri.

Kalau bangsal-bangsal itu disebut „pakapalan”, adalah karena pada tempat-tempat itu dipergunakan untuk mempersiapkan kuda-kuda tunggang dari Pepatih-Dalem, para Bupati dan para Panewu Mantri, bila ada upatjara kebesaran, atau dalam saat-saat mereka akan berangkat menghadapi musuh (2).

Kalau alun-alun Utara letaknja ada disebelah luar Baluwarti (ringmuur) Keraton, adalah alun-alun Selatan, jang merupakan imbangan alun-alun Utara, ada didalam Baluwarti Keraton. Pada alun-alun ini kita melihat djuga sepasang „Waringin kurung”, Keadaan sekelilingnja djauh berbeda daripada alun-alun Utara,

__________
(¹). Sepasang gamelan pusaka itu semula berasal dari Madjapait, sedjak djatuhnja Madjapait, Ibukota keradjaan berpindah ke Demak, gamelan itu dipindahkan ke Demak. Demikian djuga setelah Ibukota Keradjaan pindah ke Padjang, Mataram, Kartasura, kemudian ke Surakarta. Pada waktu „Palihan Nagari” (Perdjandjian Gianti), gamelan itupun dibagi djuga, Kiai Sekati tetap di Surakarta, Njai Sekati dibojong ke Jogjakarta. Kemudian Surakarta mutrani (membuat dengan mentjontoh) Njai Sekati, dan Jogjakarta mutrani Kiai Sekati, untuk melengkapi kekurangannja.

Dalam sedjarah Madjapait, gamelan itu dahulu bernama Kjai, jang mempunjai arti „termashur”.

(²). Nama Pakapalan berasal dari perkataan kapal berarti kuda,


20