Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/29

Halaman ini tervalidasi

Bukan hanja didalam lbukota Ngajogjakarta-Adiningrat sadja olehnja didirikan benteng pertahanan V.O.C., tetapi djuga hampir bersamaan dengan itu, didalam Kota Surakartapun didirikan djuga sebuah benteng, djuga untuk memberikan bantuan, bila Sri Susuhunan Paku Buwono III mendapat kesulitan, demikian alasannja.

Bdum tjukup demikian sadja, tetapi karena V.O .C. sangat chawatir akan terdjadinja persatuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Sri Susuhunan Paku Buwono III, jang tentu akan membawa akibat membahajakan kedudukan V.O.C., atau setidak-tidaknja tentu akan menjulitkan langkah-langkahnja memperluas pengaruh dan kekuasaannja,. maka V.O.C. pun lalu mendirikan djuga benteng-benteng di Purworedjo, Magelang, Ambarawa, Ungaran dan Ngawi. Dengan demikian, tidak sadja Surakarta dan Ngajogjakarta telah didjaga dari dalam, tetapi djuga telah dikepung dengan benteng-benteng jang kuat.

Menurut dokumen-dokumen jang terdapat didalam Kapudjanggan Keraton Ngajogjakarta, batas-batas Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat jang semula:

  1. Jang sebelah Utara: kampung Djetis sampai kampung Sagan dan Samirana.
  2. Jang sebelah Timur: dari kampung Samirana ke kampung Lowano.
  3. Jang sebelah Selatan: mulai dari kampung Lowano sampai ke kampung Bugisan.
  4. Jang sebelah Barat: Dari kampung Bugisan sampai ke kampung Tegalredjo.

Dengan demikian, Ibukota Ngajogjakatta itu memandjang ke-Utara, sungai Wiiianga dan Tjodè jang mengapit Keraton, kedua-duanja menembus Ibukota dari djurusan Utara ke Selatan. Dan djustru karena inilah, maka bagaimana djuga hudjan lebat turun didalam Kota Jogjakarta, dalam beberapa saat sadja musnahlah airnja karena kedua sungai itu, mempunjai tenaga jang tjukup kuat untuk pembuangan air dari seluruh kota.

Dibawah pimpinan orang kuat lahir batinnja, sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I, bangunan-bangunan baik didalam Keraton sendiri, maupun didalam Ibukota Ngajogjakarta berdjalan sangat lantjar sekali.

Dalam waktu jang tidak lama, Ibukota Ngajogjakarta telah mendjadi Ibukota jang ,hidup dalam arti jang sangat luas.

Setapak demi setapak melangkah kearah kemadjuan. Orang dari sana-sini datang bergiliran dengan membawa bermatjam-matjam barang-barang dagangan keperluan hidup sehari-hari. Diantara pedagang-pedagang itu, banjak pula jang terus bertempat tinggal di Ibukota jang baru lahir itu, diantaranja termasuk orang-orang Tionghoa.

Menurut dokumen-dokumen jang bisa diketemukan, kampung-kampung jang diperkenankan untuk tempat tinggal orang-orang kulit putih, mula-mula Lodjiketjil, kemudian meluas ke djalan Setjodiningratan (dahulu: Kampemenstraat), kemudian meluas lagi ke kampung Bintaran dan Djetis; achirnja ke Kotabaru. Sedang bagi orang-orang Arab adalah kampung Sajidan, dan bagi orang Tionghoa mµla-mula di kampung Kranggan, kemudian lambat-laun meluas kesana-sini, terutama ketempat-tempat jang mempunjai harapan baik dalam perdagangan.

Dengan dibukanja Kereta-Api N.I.S. Mij. S/V, antara Semarang Jogjakarta dengan stasiunnja di Lempujangan, mulai 2 Maret 1872, dan Spoor S.S. dengan stasiunnja di djalan Tugu-Kidul, mulai 12 Mei 1887, maka berarti hubungan Kota Jogjakarta dengan lain-lain tempat makin tambah meluas, sendirinja karena ini, maka kemadjuan Kota ini makin meningkat dengan tjepatnja.

23