Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/30

Halaman ini tervalidasi

Tetapi dengan terus-terang bisa diakui, bahwa apa jang dikata „Kemadjuan” itu, baik dalam lapangan perdagangan, baik didalam lapangan perumahan dan banjaknja penduduk, maupun didalam lapangan perguruan, pada hakekatnja bukan berarti sifat-sifat jang membawa keluhurannja Ngajogjakarta-Adiningrat, karena setelah mangkatnja Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tanggal 24 Maret 1792 (dimakamkan di Imogiri) keadaan Negeri perlahan-lahan mengalami kemunduran, terutama didalam lapangan politik. Kedjadian dan peristiwa-peristiwa jang menjedihkan itu sebenarnja „dimainkan” oleh V.O.C.

Tentang kedjadian-kedjadian demikian ini sesungguhnja bukannja hal jang luar biasa, karena setelah „kemudi” Ngajogjakarta-Adiningrat terlepas dari tangan „Orang-kuat” kita, baik lahir, maupun batinnja, sebagai Pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono I, jang dalam saat mangkatnja belum ada seorangpun diantara Pahlawan-Pahlawan seluruh Ngajogjakarta-Adiningrat jang bisa menggantikannja, bukan hal jang mengherankan bila keadaan mendadak mendjadi uling, hingga „kapal” Ngajogja-karta-Adiningrat seakan-akan kehilangan arahnja.

Keadaan demikian ini diketahui oleh pihak V.O.C., hingga dengan sangat mudah ia mempergunakan kesempatan-kesempatan ini untuk mentjari djalan guna meluaskan pengaruh dan kekuasaannja. Perselisihan faham didalam kalangan para Bangsawan Keraton, jang seharusnja dimasa itu mendjadi „djiwa” Negara, diketahuinja. Djustru kedjadian-kedjadian sedemikian itulah jang sedjak lama sangat „dinanti-nantikan” karena disitulah letaknja „kelemahan” Negara, jang akan bisa membawa keuntungan baginja untuk menerkam kekuasaan Negara.

Diantara kedjadian-kedjadian penting didalam taraf itu, jang langsung mengenai Ngajogjakarta-Adiningrat, adalah peralihan kekuasaan V.O.C. berhubung dengan pergolakan politik di Europa. Tetapi sebagai djuga halnja si „serigala” dan si „andjing hutan” pergantian kekuasaan dan pengemudi V.O.C. itu tidak membawa manfaat bagi Ngajogjakarta-Adiningrat, bahkan ia melandjutkan langkah-langkah para pengemudi V.O.C. jang telah lewat, dengan pedoman „dokumen-dokumen” jang ditinggalkan, berikut pesan-pesan dan kesan-kesan dari W.H. van Ossenberch, Gubernur di Djawa pasisir Utara sebelah Timur, J. Vos, J.R. van der Burgh dan lain-lain, setiap kali mereka meninggalkan -djabatannja, untuk digantikan dengan lain orang, terutama sembojan Hartingh, sebagai jang sudah disebut dibagian atas.

Dalam suasana keruh itu, lahirlah Pemerintahan Kadipaten Pakualaman, pada tanggal 13 Maret 1813 diperintahkan oleh B.P. Notokusumo, putera Sri Sultan Hamengku Buwono I, jang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III diangkat mendjadi Pangeran Merdeka (¹), dengan gelar Kg. Gusti Pangeran Adipati Pakualam I (²).

Dengan lahirnja Pemerintahan Kadipaten Pakualaman ini, maka Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat mendjadi berubah sedikit, karena meskipun daerah Kadipaten Pakualaman ada di Adikarta, jang terkenal djuga dengan nama Karangkemuning, tetapi Ibukota: Pakualaman ada didalam Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, menempati

__________
(1). Semula banjak orang jang menjangka, bahwa keangkatan B.P. Notokusumo mendjadi Pangeran Merdeka, dengan gelar: K.G.P.A. Pakualam I itu, karena „djasanja” kepada Pemerintah Inggris, jang dimasa itu menggantikan kedudukannja V.O.C., tetapi didalam penjelidikan saksama, ternjata tuduhan itu tidak benar, sebab keangkatan itu sebetulnja dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku- Buwono III sendiri. Sangat sajang, piagam keangkatan itu tidak dapat diketemukan lagi. Menurut dugaan Mr. R.M. Surjodiningrat dalam bukunja jang berkepala, „Paprentahan Pradja Kedjawen”, mungkin dengan sengadja dibawa oleh Raffles, untuk mengeruhkan suasana.
(2). Sedjak tahun 1796, gelaran itu ditambah dengan sesebutan „Arijo”.


24