Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/36

Halaman ini tervalidasi

pernah timbul usaha-usaha kearah pembangunan kota (Stadsvorming). Dalam rentjana itu, Ibukota Jogjakarta akan diperluas keempat pendjuru, masing-masing dengan ukuran 15 km. dari tengah-tengahnja Ibukota.

Usaha kearah pembangunan itu sudah berdjalan sampai kepada babak persiapan tchnik, tetapi kesemuanja telah digagalkan karena petjahnja perang dunia jang kedua.

Demikianlah bila kita pandang dari sudut lahir, sedjak perletakan batu pertama sampai pada permulaan perang dunia kedua, Ibukota Jogjakarta setindak demi setindak melangkahkan kakinja kearah kemadjuan jang sangat memuaskan, lebih daripada kawannja jang umurnja lebih tua. Tetapi bila kita memandang kepadanja dari sudut politis, kita akan mendapatkan gambaran-gambaran lain, jang sangat bertentangan daripada jang kita lihat dengan mata kepala kita.

Sebagai sudah dinjatakan pada bagian atas, setelah mangkatnja Sri Sultan Ha- mengku Buwono I, kedudukan Ngajogjakarta-Adiningrat hampir serupa halnja dengan perahu kapal kehilangan Mualimnja jang sangat tjakap, karena mereka jang ditinggal- kan tiada seorangpun jang dapat menggantikan beliau, untuk meneruskan memimpin dan mengemudikan Ngajogjakarta-Adiningrat kearah ,,bahagia raja”, sebagai tjita-tjitanja jang semula. Tetapi sebaliknja, telah terdjadi perpetjahan, disebabkan perbedaan faham dalam ,,lapangan politik” dan ,,kepentingan”. Dalam pada itu, V.O.G. jang selalu menjediakan ,,bahan-bahan bakar” setiap kali terdjadi ,,pcletikan ap?” didalam kom- pleks pimpinan Negara, tidak melepaskan kesempatan-kesempatan jang sangat penting baginja itu. Makin hebat pertengkaran jang terdjadi pada pimpinan Negara, makin kuatlah kedudukannja, dan makin tjepat djuga tertjapainja merampas pengaruh dan kekuasaan Ngajogjakarta-Adiningrat.

Sebagai gambaran-gambaran jang pernah kita saksikan pada djaman revolusi jang baru lalu ini, tidak sedikit adanja orang-orang jang ,,berpengaruh” didalam lapangan Pemerintahan, jang djiwanja ,,bisa dibeli”, setjara langsung atau tidak langsung.

Sedikit demi sedikit, kekuasaan Ngajogjakarta-Adiningrat terlepas dari genggam- an Keradjaan, ada jang disebabkan sebagai akibat peristiwa- peristiwa politik, tetapi ada djuga jang disebabkan karena digogos dengan tjara »sistimatis”” setiap kali terdjadi pergantian jang menduduki Singgasana.

Peristiwa jang tidak bisa dilupakan dan sangat melukai hati karena merupakan perkosaan, telah dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II setelah beliau duduk di Tachta Keradjaan kira-kira setengah tahun lamanja.

Pada masa itu jang mendjadi Gupernur Djendral adalah H.W. Dscnddls. Rupanja Daendels mengetahui akan kelemahan-kelemahannja Ngajogjakarta-Adiningrat, hingga olehnja dipandang sudah sampai waktunja untuk mengangkat kedudukan dan ke- kuasaannja beserta alat-alat kekuasaannja, terutama jang terdiri dari orang-orang kulit putih, dengan djalan menarik kebawah keluhurannja Sri Sultan Hamengku Buwono II, hingga karcnanja pada waktu pasowanan, kedudukan para Minister (Residen) hampir berimbangan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Tentang itu, ditentukan didalam ,,Peraturan upatjara resmi” tertanggal 28 Djuli 1808. Sungguhpun ,,peraturan upaljara resmi” jang baru itu menimbulkan reaksi jang sangat panas, dan ditambah pula atas sikapnja H.W. Daendels jang kurang sopan pada waktu ia mencrima kundjungan Sri Sultan Hamengku Buwono II digedung Karesidenan, tetapi lama-kelamaan upatjara baru itu berwudjud djuga.


28