Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/38

Halaman ini tervalidasi

Sultan Hamengku Buwono IX Butaicho Pingit dan Kotabaru, telah datang sendiri menjerahkan semua sendjata jang ada dibawah kekuasaannja, kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Kalau dalam saat mengurung Butai Kotabaru pada malam scbelum menjerah, telah mengambil korban djiwa 19 orang pemuda, kedjadian jang menjedihkan itulah karena perbuatan pengatjau, jang sengadja datang dari lain tempat, tetapi beberapa -diantaranja, pada keesokan harinja bisa ditangkap djuga oleh pemuda-pemuda kita.

Komite Nasional Indonesia (K.N.I.) jang terdahulu lahir, setelah Djakarta, djuga di Ibukota kita, berkantor di Gedung Agung, bersama-sama dengan lain-lain badan perdjoangan.

Salah satu peristiwa penting dalam sedjarah perkembangan politik jang mem- punjai sangkut-paut dengan sedjarah Ibukota kita, dalam saat-saat permulaan revolusi kita itu, adalah sambutan Kepala Daerah Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, dalam menghadapi dan menjambut Proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Sembilanbelas hari kemudian dari pada 17 Agustus 1945, jaitu pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengumumkan amanatnja ditjorong Radio Jogjakarta, jang disambut dengan penuh semangat dan kegembiraan oleh seluruh penduduk Jogjakarta pada umumnja, penduduk Ibukota kita pada chususnja, Amanat itu isinja:

  1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta-Adiningrat jang bersifat Keradjaan, adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta-Adiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan Pemerintah dalam Negeri Ngajogja- karta-Adiningrat mulai saat ini berada ditangan kami, dan kekuasaan- kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnja.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta-Adiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersipat langsung dan kami bertanggung djawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada saat jang hampir bersamaan, Sri Pakualam VIII djuga mengumumkan amanatnja jang isi dan djiwanja bersamaan.

Dengan mempergunakan katja-mata sekarang, sikap kedua Kepala Daerah itu tidak mempunjai sifat jang besar artinja, tetapi kalau kita kembali menengok pada saat-saat diumumkannja Amanat-amanat itu, kita akan berpikiran lain, sebab pada waktu itu kita masih ada dimulut sendjata musuh jang ganas dan kedjam. Dalam sedjarah revolusi, ketegasan sikap kedua orang Kepala Daerah itu, tidak bisa dilewatkan demikian sadja. Jogjakarta dan Pakualaman adalah 2 Zelfbestuur (Swapradja) pertama jang menjatakan dengan tegas, berdiri dibelakang Proklamasi Presiden Sukarno dan Wk. Presiden Moh. Hatta.

Tiada seorangpun jang berani meramalkan, bahwa legende ,,Naga,Kiai Djaga” jang mewudjudkan seakan-akan petundjuk Illahi kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam saat memilih tjalon Ibukota, akan benar-benar terbukti setelah Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat berumur hampir 190 tahun lamanja.

Djuga sama sekali tidak pernah orang menjangka bahwa di Ibukota kita ini, kekuasaan Belanda seluruhnja mendapat perlawanan jang paling berat, dengan berkesudahan ,,tamatnja” sedjarah pendjadjahannja.


30