Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/39

Halaman ini tervalidasi

Dan sama sekali tidak ada jang menjangkakan, bahwa peresmian dari keangkatan Presiden Republik Indonesia Serikat jang pertama, dilakukan di Ibukota kita ini, dan upatjaranja dilaksanakan di Bangsal Witana, jang pada Ik. 190 tahun sebelumnja, mendjadi tempat Sri Sultan Hamengku Buana I duduk disinggasana jang pertama, untuk meresmikan lahirnja Negara dan Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat.

Semuanja benar-benar telah terdjadi!

Beberapa Minggu setelah lahirnya Republik Indonesia maka datanglah Tentara Sekutu jang dipimpin oleh Angkatan perang Inggris, memasuki Djakarta. Dalam rombongan itu, turut membontjeng djuga Tentara Keradjaan Belanda, jang rupanja mempunjai harapan besar, akan ,,disambut” oleh rakjat Indonesia dengan girang hati. Tetapi dugaannja ternjata salah sekali, mereka disambut dengan pedang terhunus.


DJADI IBUKOTA REPUBLIK INDONESIA.

SEMENTARA Rakjat Indonesia seluruhnja merasakan kegirangan karena terlepas dari kuku pendjadjahan asing itu, dengan tjara mendadak kita jang ada di Ibukota Jogjakarta dikedjutkan oleh satu kedjadian jang sama sekali tidak disangka-sangka.

Meskipun Djendral Christison, pemimpin pendaratan tentara Sekutu di Tandjung-Priuk pada tanggal 29 September 1945, sehari sesudahnja tiba di Djakarta, mengakui akan lahirnja Negara baru, Republik Indonesia, dan menjatakan djuga bahwa ke: datangannja di Indonesia ,,melulu hanja akan melutjuti tentara Djepang”, tetapi pada tanggal 25 Nopember 1945 pagi hari penduduk di Ibukota kita telah dikedjutkan dengan terdjadinja serangan kapal udara R.A.F. meskipun sasarannja hanja ditudjukan kepada Studio Radio Jogjakarta sadja. Maksudnja jang terutama, supaja Jogiakarta tidak banjak bitjara.

Tetapi kenjataan bahwa maksudnja tidak tertjapai, karena pada petang harinja Radio Jogjakarta masih melajang diudara, bahkan makin hebat dari jang sudah-sudah, diantaranja mengumumkan tentang serangan R.A.F. jang dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang itu. Djustru karena itulah maka pada tanggal 27 Nopember 1945, djadi dua hari kemudian, ia datang lagi untuk mengulangi ,,keberaniannja”. Akibatnja mengambil kurban Gedung Siaran Radio, Balai Mataram dan Gedung Sana-Budaja.

Kedjadian-kedjadian itu merupakan minjak jang menjiram api perdjuangan kita, dan seakan-akan peringatan dari ,,Kiai Djaga”, untuk selandjutnja supaja penduduk Ibukota kita harus ,,lebih berhati-hati dan waspada”.

Lahirnja tahun 1946 telah membawa perubahan jang sangat besar sekali bagi Ibukota kita.

Kalau pada 190 tahun jang lalu, Ibukota ini mempunjai kedudukan sebagai Ibukota Negara Ngajogjakarta-Adiningrat, dan pada achir perlawanan B.P.A. Diponegoro telah merosot tinggal mendjadi Ibukota Kasultanan dan Karesidenan Jogjakarta, sedjak 5 September 1945 mendjadi Ibukota Daerah Istimewa Jogjakarta, adalah sedjak tanggal 4 Djanuari 1946, berhubung dengan kepindahan P.J.M. Presiden Sukarno dan P.J.M. Wakil Presiden Moh. Hatta dari Djakarta kesini, bersama-sama dengan para Pemimpin Negara jang lain, maka Ibukota Jogjakarta mendadak tclah melontjat mendjadi Ibukota sementara dari Republik Indonesia.

Perubahan ini sangat besar sekali pengaruhnja, karena dengan tjara mendadak

djuga, Ibukota ini telah dibandjiri penduduk jang tidak sadja dari Djakarta jang terdiri

31