Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/56

Halaman ini tervalidasi

Kediri, Semarang, Pekalongan, Bandung, Bogor, Tjirebon, Jogjakarta dan Surakarta dengan mentjabut undang-undang Pembentukan (Instellingsordonnantie) pada waktu zaman Belanda dan undang-undang tahun 1947 No. 16 dan 17. Tentang urusan-urusan/kewadjiban-kewadjiban jang diserahkan baik sebagai urusan rumah tangga (otonomi) maupun sebagai urusan in medebewind, untuk djelasnja dipersilahkan mengikuti naskah undang-undang beserta lampirannja.

Sungguhpun dapat dikatakan sudah bebcrapa langkah madju, namun daerah-daerah otonoom jang bersangkutan merasa tidak puas, karena undang-undang pembentukan jang dapat diibaratkan sudah memberi tempatnja (wadah) tidak segera disusul dengan Peraturan Pemerintah jang menentukan pelaksanaan penjerahan (memberi isinja). Buat Kota-kota Besar bekas Staatsgemeenten, maka kelambatan pelaksanaan penjerahan itu tidak begitu terasa, karena pasal 4 ajat (4) memberi djaminan, bahwa urusan-urusan/kewadjiban-kewadjiban jang sudah dikerdjakan sebelum dibentuk menurut undang-undang: ini, dilandjutkan schingga ada pentjabutan dengan undang-undang, dengan perkataan lain urusan-urusan/kewadjiban-kewadjiban jang sudah di- selenggarakan berdasarkan Instellings-ordonnanties, dapat terus dikerdjakan.

Bagaimanakah halnja dengan Kotapradja Jogjakarta? Juridis memang dapat melandjutkan urusan-urusan jang sudah diserahkan menurut undang-undang tahun 1947 No. 17. Tetapi seperti sudah diuraikan pada bagian muka, Undang-undang itu tidak dapat berdjalan, djadi untuk Kotapradja Jogjakarta kelambatan penjerahan (feitelijke atau rigele overdracht) itu terasa benar-benar. Dengan tjara bagaimanakah Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta dapat memberi kepuasan kepada Kotapradja Jogjakarta? Juridis formeel penjerahan dengan njata harus dilaksanakan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta dulu dengan Peraturan Pemerintah (althans menurut praktijk). Sjarat formeel jang kedua jalah: penjerahan dari Daerah Istimewa Jogjakarta kepada Kotapradja Jogjakarta harus dilaksanakan dengan Peraturan Daerah (Peraturan D.P.R. Dacrah Istimewa), pada hal waktu itu kedudukan D.P.R. Daerah Istimewa Jogjakarta mendjadi terkatung-katung berhubung dengan terdjadinja „peristiwa Madiun”. Sungguh pada waktu itu Pemerintah Daerah Istimewa ditempatkan dalam kedudukan jang sulit (dwangpositie), karena dari fihak Kotapradja Jogjakarta terus diadjukan tuntutan untuk segera melaksanakan penjerahan.

Dengan keputusan D.P.D. (Dewan Pemerintah Daerah) Istimewa Jogjakarta, maka berangsur-angsur diserahkan urusan-urusan kewadjiban-kewadjiban kepada Kotapradja Jogjakarta menurut lampiran Undang-undang Pembentukan. Djika diteliti dengan seksama maka bilangan urusan-urusan/kewadjiban-kewadjiban jang telah diserahkan adalah melebihi djumlah djenis urusan jang sudah diserahkan kepada Kota Besar lain-lainnja.

Sekarang timbul pertanjaan: apakah procedure penjerahan itu absah? Dari hemat kami strikt juridisch tidak, karena pasal 24 ajat (2) Undang-undang tahun 1948 No. 22 dengan njata (uitdrakkelijk) mengharuskan untuk pelaksanaan penjerahan „dengan peraturan daerah” (dus peraturan D.P.R.). Tetapi ada pendapat lain jang menjatakan bahwa ajat (2) tersebut harus dibatja dalam hubungannja dengan pasal 24 ajat (1), dus hanja untuk penjerahan in medebewind. Memang djika diberikan tafsiran menurut „Letternja” Undang-undang, maka ajat (2) hanja berlaku terhadap ajat (1), tetapi djikalau diberikan tafsiran menurut semangatnja (geestnja), maka ajat (2) pasal 24 djuga berlaku terhadap penjerahan dari urusan-urusan tersebut pasal 23 (urusan

44