Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/57

Halaman ini tervalidasi

otonomi), karena agak tidak logis djika untuk penjerahan in mcdebewind (tidak penjerahan penuh) diperlukan peraturan daerah, sedang untuk penjerahan ini otonomi (penjerahan penuh) jang merupakan pengurangan (uitholling) kekuasaan jang lebih besar, tidak diperlukan peraturan daerah. Memang harus diakui, bahwa penempatan pasal 2 ajat (2) kurang pada tempatnja, sehingga dapat menimbulkan bermatjam-matjam interpretatie. Dalam Peraturan-peraturan (Pemerintah jang mengatur pelaksanaan penjerahan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta sebenarnja sudah diadakan koreksi, dimana dinjatakan bahwa sjarat formil „dengan peraturan Daerah” djuga berlaku terhadap penjerahan in otonomi.

Bagaimanakah procedure penjerahan tersebut dapat diabsjahkan (gelegaliscerd)? Dari hemat kami dapat ditempuh dua djalan jaitu:
pertama : penjerahan tersebut diulangi lagi dengan peraturan Daerah (dioper oleh D.P.R.) dengan ketentuan² berlaku surut (terugwerkende kracht);
kedua : dibatalkan oleh Presiden, dan kemudian diserahkan langsung oleh Pemerintah Pusat dengan Peraturan Pemerintah.

Djalan pertama mengandung risiko, karena D.P.R, terdiri dari 40 orang anggauta jang tidak dapat ditekan untuk menjetudjui rentjana peraturan jang diadjukan oleh D.P.D. sjukur kalau kepintjangan tersebut diinsjafi dan dengan ichlas D.P.R. membuat peraturan Daerah jang dimaksud.

Djika djalan pertama tidak berhasil terpaksa ditempuh djalan kedua, karena menurut pasal 42 Undang-undang tahun 1948 No. 22 Presiden berhak untuk membatalkan keputusan D.P.D. tingkat Propinsi djika bertentangan dengan Undang-undang atau kepentingan umum. Tetapi keputusan pembatalan itu harus bersama-sama disertai Peraturan Pemerintah jang mengatur pelaksanaan penjerahan langsung kepada Kota- pradja Jogjakarta (mengulangi penjerahan jang sudah dilaksanakan oleh D.P.D. dan Peraturan Pemerintah itu berlaku surut). Dengun procedure jang kami sarankan diatas akan terbuka „way-out” dari kepintjangan (impasse) jang dialami sekarang ini. (Tentang penjerahan Jangsung kepada Kota Besar/Kctjil atau Kabupaten Pemerintah Pusat sudah pernah mendjalankan jaitu mengenai penjerahan urusan kesehatan).

Dipandang dari sudut praktis, maka probleem jang saja kemukakan diatas tidak perlu dipersoalkan, karena sudah mendjadi kenjataan dan tidak ada reaksi dari masjarakat. Tetapi dipandang dari sudut tata-tertib hukum, maka hal itu pantas mendapat perhatian dari instansi jang bersangkutan.

Achirnja perlu diadakan pendjelasan tentang nama jang dipakai ialah Kotapradja Jogjakarta, bukan Kota Besar Jogjakarta.

Untuk mudahnja disini saja kutip pernjataan Wali Kota Jogjakarta (Mr. K.R.T. Soedarisman Poerwokoesoemo) dalam buku „Sedjarah Pemerintahan Kota Jogjakarta” disusun oleh Sudomo Bandjaransari, dimana dalam kata pengantar antara lain dinjatakan sebagai berikut:

„Ada barangkali jang menanjakan, apa sebabnja Kota Jogjakarta menamakan diri bukan Kota Besar, melainkan Kotapradja. Sebabnja tidak lain, oleh karena D.P.R. Haminte Kota Jogjakarta dalam sidangnja pada bulan-bulan Nopember dan December 1950 bingung mentjari perkataan jang dapat dipakai sebagai penggantinja nama Haminte Kota jang pada waktu itu setjara resmi.dan dalam pertjakapan sehari-hari telah dipakai

oleh umum D.P.R. Haminte Kota Jogjakarta dalam sidangnja itu memutuskan, bahwa

45