Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/70

Halaman ini tervalidasi

Sebaliknja sang bapa tidak terlihat ada terselip tingkah laku jang garang, dan tidak terdengar sepatah katapun bahasa jang melanggar kesopanan terhadap sang ibu. Sudah mendjadi kebiasaan dalam tiap-tiap rumah tangga bahwa kaum ibu itu merasa wadjib melajani segala kemauan/keperluan sang suami, lagi pula berhati-hati mendjaga kehormatan, rumah-tangga jang mendjadi tanggung djawabnja.

Suasana rumah-tangga jang dilukiskan diatas itu, mendjadi kebiasaan pada tiap-tiap rumah tangga jang tertib dan memperhatikan kepentingan pendidikan keluarganja, karena sungguhpun dimasa itu kita masih belum mengindjak dunia modern, tetapi pengertian bahwa hidupnja merupakan tjontoh dan guru lahir dan batin kepada anak-anaknja sudah mendalam.

Unsur-unsur atau dasar pendidikan kearah perdamaian.

Unsur-unsur perdamaian rumah-tangga dimasa jang lampau jang perlu diutarakan disini, adalah tjaranja membentuk djiwa tjalon-tjalon ibu dan tjalon-tjalon bapak.

Bagi tjalon-tjalon Ibu (gadis-gadis).

'Sedjak remadja para gadis di Kota Jogjakarta dari segala lapisan masjarakat, selalu mendapat nasehat dan petuah-petuah tentang kewadjiban para kaum ibu harus bakti-laki (berbakti kepada suaminja) karena hanja dengan djalan itu sadja mereka bisa mendapatkan kebahagiaan hidup.

Guru laki, berarti sang suami dimisslkan sebagai gurunja, jang wadjib diturut segala kata dan petundjuknja. Sehari-hari sang istri melajani keperluan suami.

Pada umumnja sang Ibu mempunjai sumber penghidupan sendiri, jaitu bakul berdjual beli dipasar, membuka warung bahan makanan, membatik dan lain-lain. Sebab kesibukan kerdja, maka dengan setjara tidak terasa, sang Ibu tiada kesempatan untuk menghiraukan soal-soal jang lain-lain, sungguhpun demikian mereka tidak pula melupakan mendidik anak-anaknja, terutama dalam hal-hal jang bersangkutan dengan Pentjahariannja masing.

Bagi tjalon-tjalon Bapak.

Mata pentjaharian orang-orang laki-laki pada umumnja mendjadi hamba Keraton, Paku-Alaman atau kepada para Pangeran. Inilah sebabnja titik berat pendidikan dirumah-tangga kepada anak-anak laki-laki dipusatkan kepada. „Tata-krama” (kesopanan) Djawa.

Lain dari pada itu pemuda-pemuda dipimpin kearah pekerdjaan lain jang kelak akan mendjadi pokok penghidupannja, ialah mendjadi tukang batu, tukang kaju, tukang blik, pandai emas, pandai besi, tukang tjat, tukang kulit, tukang djam, tukang pajung, gemblak (mengerdjakan kuningan lojang perunggu) sajang (mengerdjakan tembaga) nijogo dan lain sebagainja:

Disamping itu umumnja pemuda-pemuda dibiasakan menguasai hawa nafsunja dengan djalan mengurangi makan dan tidur (Hegah dahar lan guling).

Dalam sesuatu langkah dibiasakan selalu dipikirkan anak-anak lebih dahulu.


56