Halaman:Kota Jogjakarta 200 Tahun (1956).pdf/75

Halaman ini tervalidasi
  1. Gambuh.

    Lela-lela leledung, lah turua, anakku si Kuntjung
    bijangne lagi lunga menjang kali, ngumbah popok njangking beruk,
    tjep menenga ana uwong.
    Adapun arti lagu ini:
    Tenanglah, tenang hai anakku.
    Oh! Kuntjung, tidurlah kau.
    Ibumu sedang membasuh pakaianmu kesungai, Ah, diamlah!
    Diam, diam.............................. di................am.
    Ada manusia lalu didjalan.

  2. Megatruh (duduk-wuluh).

    Lagu ini diambil dari tambo ,,Babad Demak” jang mentjeriterakan Raden Djaka Tingkir tengah bersampan, tidak dengan didajungkan orang, tetapi berdjalan dengan tenaga 40 ekor buaja. Sigra milir, kang getek sinangga badjul, kawan dasa kang ndjageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan-kering, kang getek lampahnja alon.

  3. Midjil.

    Ing Mataram, Betengira inggil, ngubengi Kadaton, Plengkung lima madju-pat mengang, djagang djero tur tojane wening, ringin patjak-sudji, gajam turut lurung,.

    Ikatan ihi menundjukkan bentuk “bangunan Istana (Kedaton) Jogjakarta, berpagar batu tembok tinggi dengan megahnja, berpintu gerbang lima, disebelah Utara, disebelah Timur, Selatan dan Barat masing-masing sebuah.

    Tetapi pintu gerbang jang dibuka untuk lalu-lintas umum hanja empat jang disebelah Timur ditutup, dilarang untuk lalu-lintas. Baru sedjak Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pintu gerbang Timur itu dibuka.

    Pada bagian luar batu itu dikelilingi selokan jang dalam, berair djernih. Di-tengah-tengah Aloon-aloon Utara ditanam sepasang pohon beringin, jang berpagar, sepandjang tepi djalan besar terdapat beberapa batang pohon gajam. Sekarang masih dapat dilihat pohon | gajam jang ada di Pagelaran, jang masih dalam pemeliharaan.

  4. Pangkur.

    Nimas Ratu Kalinjamat, tilar wisma mertapa anteng wukir, tapa wuda sindjang rambut, neng wukir Danaradja, apratignja tan arsa tapihan ingsun, jen tan antuk adiling Hyang, ukumt sedulur mami (dari babad Demak).

    Pada Puisi Pangkur ini menundjukkan kesetiaan seorang istri kepada suaminja, karena mati dibunuh oleh Adipati Arja Penangsang di Djipang (Daerah Blora).

    Kesetiaan itu dilukiskan dengan tjara tuntutannja dan sumpahnja, bahwa ia tidak akan berkain selama hidupnja, bila pembunuh suaminja belum mendapat pembalasan dari Tuhan. Ratu" Kalinjamat: demikian nama djanda bangsawan itu, meninggalkan kampung halamannja pergi-ke Gunung Danaradja (Dalam Kota Djepara)

59