SUATU bangsa, dimana djuga warna apa atau aliran apapun djuga, jang beradab karena tinggi kebudajaannja tentu mengenal Anggaran untuk menjelamatkan hidup-pergaulannja dalam lingkungan sendiri. Bangsa Indonesia djika memang sudah jakin akan keadaban sendiri jang dibuktikan oleh kebudajaannja, dan ingin disebut bangsa beradab barang tentu harus mengenal pula Anggaran sendiri. Anggaran jang semata2 mendjadi pagar, mendjadi benteng selamat bahagianja badan sendiri.
Adapun benteng ini ialah „Kesusilaan” perkataan dalam bahasa Indonesia, jang sudah hampir lazim terpakainja. Kesusilaan kami anggap sebagai benteng diri, benteng jang amat sentausa guna memagari sendiri, tidak terhadap musuh luar sadja, tetapi bahkan jang terpenting terhadap musuh didalam selimut sendiri jaitu musuh jang bergelandangan didalam tubuh manusia sendiri ialah nafsu diri jang tumbuhnja karena Angkara-Murka.
Pendek kata Kesusilaan itu ialah tampaknja sebagai gerak-gerik, sepak terdjang, lagak-lagu, tata-krama, tata-tjara jang semuanja lekat sekali perhubungannja dengan hidup-lahir dan hidup-batin manusia. Dalam galibnja jang menentukan kesusilaan itu adalah hukum-igama dan hukum-adat dari sesuatu bangsa. Adapun jang mendjadi petundjuk djalan iadlah keadaan kebudajaannja, karena kebudajaan inilah jang mempunjai sjarat2, petuah2, mengandung sedjarah bangsa jang baik dan djelek, pendek kata segala pengalaman dari sesuatu bangsa. Djadi djika sedjarah sudah mengatakan bahwa orang atau bangsa melakukan perbuatan djelek djanganlah diulangi lagi.
Dari sudut kupasan bahasa, maka ,kesusilaan” itu mengandung pangkal kata „susila” jang mengandung lagi perkataan-singkat „sila”. Adapun sila adalah suatu sikap orang duduk jang kedua kakinja, kedua tangannja, badan roman-mukanja disusun demikian rupa hingga sikap itu rapih, sentausa, tegap, tidak miring, bersiap tidak gampang rubuhnja, pun timbang dilihat dari sudut mana sadja dan dalam lambang arti terhadap Tuhan menjerahkan djiwa-raga dengan ichlasnja.