Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/43

Halaman ini tervalidasi

Syahrul, anakku.... , masih kecil sudah ditinggalkan ibu, menjadi anak yatim. Aku hendak menjemput engkau kedua, tetapi Rumah sudah kusewa, rupanya maksudku itu sia-sia saja. perkakas rumah sudah cukup, hanya tinggal menempati saja lagi. Akan tetapi aku engkau tinggalkan.... ya, untuk selama-lamanya. Apakah gunanya rumah ini kusewa?" Tiba-tiba timbul pula amarah dalam hati guru Kasim, lalu berkata; "Mertua celaka, mertua keparat! Jika dibiarkannya anaknya pergi dengan daku dahulu, barangkali Jamilah tidak meninggal. Sekarang karenanya beginilah jadinya. Siapa tahu, boleh jadi karena sedih yang membawa maut kepada istriku. Anakku mesti kujemput, kubawa ke mana aku pergi. Aku takkan bercerai setapak jua pun dengan anakku yang tunggal itu."

Bermacam-macam pikiran guru Kasim, sebentar sedih sebentar pula merah padam mukanya. lnduk semangnya pulang dari pasar. Ketika dilihatnya jendela kamar terbuka, maka ia pun berseru menanyakan, apa sebabnya guru Kasim pulang pagi. Maka diperlihatkannyalah isi telegram yang baru diterimanya dari kampung itu. Mendengar kabar itu induk semangnya bersedih hati. Maka disabarkannya hati "Guru Kasim, lalu katanya, "Tuhan berbuat sesukanya, guru! Bila pun jua jika dikehendakinya, kita makhluk yang lemah ini takkan dapat menghalangi-.Nya. Kita pun belum tentu lagi, entah besok lusa diambilnya pula. Bukankah untung nasib seseorang telah tertulis di dalam Lauh Mahfud? Bagi kita manusia ini hanya menjalani suratan badan masing-masing saja. Istri guru sudah terseberang dengan selamat. Oleh sebab itu kita pohonkan doa ke hadirat Tuhan, moga-moga arwahnya dilapangkan Allah dalam kubur, dan kita yang tinggal di dalam kandungan sehat-sehat saja hendaknya. Sabarkanlah hati guru, tak usah dipikirkan yang sudah hilang itu. Kendatipun guru berdukacita amat sangat akan hidup dia kembali tak mungkin. Malahan guru yang akan sengsai karenanya, dan boleh mendatangkan penyakit."

"Sebenarnya kata mamak itu!" ujar guru Kasim. Hatinya sudah sabar kembali, karena induk semangnya amat pandai membujuk dia. "Saya bersedih hati, ialah karena memikirkan anak jua, mak! Ia masih kecil, tiba- tiba menjadi anak yatim. Itulah yang saya susahkan benar, ibu mati bapak pun jauh."

"Sudah berapa tahunkah umurnya, guru?"

"Jalan enam tahun, mak!"

"Akan guru bawakah anak guru itu ke mari kelak?"

45