Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/62

Halaman ini tervalidasi

hendak membenarkan. Maka ia pun berkata, katanya, "Sungguhpun demikian, kita misalkan benar keteranganmu itu, akan tetapi yang saya katakan bahwa hal itu sudah diadatkan dan telah turun-temurun sejak dari nenek moyang kita. Sudah sekian lamanya, sudah berabad-abad agaknya, kebiasaan itu berjalan dengan baik. Pada pemandangan saya seorang pun belum ada yang mencela, baru engkau inilah. Jadi hal itu nyata kepadaku amat baik dan sempurna: jika tidak baik, masakan akan diperbuat orang adat yang macam itu."

"Boleh jadi ada juga benarnya perkataan mamak itu. Akan tetapi jika pada pikiran kita yang macam itu sudah salah, bukankah patut kita memperbaikinya Kita mengetahui bahwa kedua kata adat yang saya sebutkan tadi, timpang benar pengertiannya. Bukankah hal itu tidak baik dibiarkan saja ?"

"Ha, ha !" Datuk Garang tertawa seakan-akan mengejekkan kemanakannya. "Engkau sangka akan dapatkah engkau mengubah adat yang telah berurat berakar itu di hati orang kita dengan sekejab mata saja ? Saya rasa perkara yang mustahil saja, bahkan agaknya boleh mendatangkan bahaya atas dirimu."

"Bukan begitu maksud saya, mamak !" ujar guru Kasim sambil memandang muka mamaknya. Ia maklum akan jawab mamaknya itu tidak kena dan seakan-akan hendak mengelakkan diri dari pertanyaan. "Akan mengubah dengan sekejab mata saja tentu tidak mungkin karena sebagai kata mamak tadi, sudah berurat berakar tertanam di hati orang kita. Saya pun percaya, bahwa boleh jadi mendatangkan bahaya atas diri saya, karena barang sesuatu yang menguntungkan kepada seseorang, jika dialangi orang lain, tentu menimbulkan amarah dalam hatinya."

"Apa maksudmu dengan perkataan itu, Kasim ?" ujar Datuk Garang dengan kurang sabar rupanya.

"Tak dapat tiada laki-laki yang besar nafsunya, suka beristeri

banyak, sesuai dengan keterangan mamak tadi itu. Bukankah karena itu nafsunya puas, sebab ia orang diselang untuk memperkembang sesuatu kaum saja. Ia tak usah membelanjai anak dan isterinya. Sebagai kebanyakan yang telah saya lihat di kampung ini, si isteri membelanjai suaminya. Si laki-laki yang bertulang kuat itu bersenang-senangkan diri saja. Jika ia tidak suka lagi kepada isterinya, diceraikannya, lalu kawin pula, demikianlah seterusnya. Pencahariannya satu pun tak ada, melainkan hilir mudik sehari-harian. Isterinya, perempuan yang bertulang lemah itu, sudah

64