Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/67

Halaman ini tervalidasi

ini. Syukur juga engkau masih kanak-kanak, belum tahu menanggung kesusahan dunia ini. Hanya akulah ayahmu yang malang itu, akan bersedih hati selama hidupku terkenangkan engkau, dan barangkali takkan pernah lagi melihat wajahmu, sebab perbuatan manusia yang ganas itu."

Dengan tidak diketahuinya, air mata guru Kasim jatuh berleleran di pipinya. Wajah anaknya yang kecil molek itu rasa-rasa tampak di matanya. Seakan-akan kedengaran ditelinganya Syahrul bangun menangis memanggil ayah, pada malam ia meninggalkan anak itu di Banto Darano. Sekalian tingkah laku Syahrul sejak kecil, terbayang dalam pikirannya. Maka ia pun berkata pula perlahan-lahan, sambil memandang ke laut biru yang terhampar luas di hadapannya, katanya "Aduhai Syahrul, hubungan nyawa ayah kandung, buah hati limpa berkurung! Engkaulah pautan hati ayah bunda, tambatan larat kami berdua. Syahrul kami manjakan petang pagi, bagai menating minyak penuh, obat jerih pelerai demam ibu dan bapa. Sekarang engkau terpisah daripada kami, bercerai untuk . . . . . ya siapa tahu, barangkali untuk selama-lamanya. Menangis siapa akan membujuk, pintamu siapa akan mengabulkan ibu mati bapa berjalan."

Tiba-tiba terdengar lonceng kapal berbunyi, akan menandakan bahwa orang diizinkan mengambil makanan. Sungguhpun penumpang di dek sudah mengambil makanan semuanya, dan ada pula yang telah sudah makan, tetapi guru Kasim tak hendak bergerak dari tempat duduknya. Pikirannya melayang mengenangkan anak dan tanah tumpah darahnya. Sekalian ingar-bingar di kapal itu, bunyi mesin kapal, bunyi piring mangkuk dicuci dan percakapan orang seolah-olah tidak kedengaran olehnya.

Akan tetapi bunyi lonceng kapal itu pulalah yang mengubah pikirannya mengenangkan Syahrul. Sekonyong-konyong mukanya berubah menjadi merah, hatinya panas memikirkan perkataan mentuanya yang menceraikan dia dengan anaknya. Apalagi mengenangkan percakapannya dengan Datuk Garang, tak sedap sedikit jua hatinya, karena perkataan mamaknya itu tidak memuaskan hati. Dalam percakapan dengan Datuk Garang itu ia tidak bebas mengeluarkan perasaannya, sebab mengingatkan orang tua itu mamaknya dan penghulu dari pada kaumnya. Sedangkan sedikit saja ia mencela adat kebiasaan di negerinya, sudah macam-macam kata mamaknya. Apalagi jika dikatakannya adat kebiasaan di kampungnya sangat buruk, banyak perempuan-

69