Halaman:Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris.pdf/112

Halaman ini tervalidasi

Kiranja no. 12 tidak begitu penting lagi dengan adanja satu unificatie dalam lapangan pidana jaitu: WvSI atau K.U.H.P. dan peraturan perundangan lainnja mengenai pidana. Dan jang kita seminarkan sekarang ini adalah apa jang tersebut dalam angka 6, 7, 8, dan 9. djadi hanja sebahagian sadja, bahagian jang penting, dan kami kira dalam penbitjaraan ini tentu tidak terlepas dari bahagian lainnja karena semuanja itu dari no. 1 — 13 merupakan satu kesatuan sistem jang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

  1. Istilah jang dipakai untuk hukum adat.

 Pada zaman Hindia Belanda dulu sedjak 1 Mai 1848 telah diperlakukan serentetan per-undang2an untuk Indonesia (asas concordantie) dan dalam hal ini adatrecht untuk orang Indonesia asli (Bumiputra) dilangsungkan berlakunja, sebagaimana dapat kita lihat dari ketentuan2 umum tentang perundangan untuk Indonesia jaitu ps. 11 dan 13 AB. Pasal 11 AB kira2 terdjemahannja:
 "Ketjuali hal2 dalam mana orang2 Bumiputra atau mereka jang dipersamakan dengan Bumiputra telah menundjukkan dirinja dengan sukarela kepada ketentuan2 Eropah mengenai hukum perdata dan hukum dagang, atau dimana ketentuan2 hukum demikian itu atau jang lain telah dikenakan kepada mereka, maka undang-undang keagamaan, badan kemasjarakatan dan adat kebiasaan (= derzelver godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken) tetap berlaku dan digunakan oleh Hakim Bumiputra selama itu tidak bertentangan dengan dasar2 keadilan dan kebenaran jang telah diakui umum". (IS 131, 163, OV 5, AB, 15, 20).
 Begitu juga dalam pasal 75 ajat RR (mendjadi 131 ajat 16 IS) dipergunakan istilah jang sama untuk menjebut hukum adat. Dus, dalam zaman Hindia Belanda dulu istilah jang digunakan untuk hukum adat atau adatrecht ialalı: "Godsdienstige wetten, volkinstellingen en gebruiken".

 Adapun sekarang ini dalam Indonesia Merdeka, hukum adat itu diindentikkan dengan hukum jang tidak tertulis, jakni sebagai lawan dari hukum jang tertulis, jang dicodificeer. Hugum jang tidak tertulis, berarti hukum jang tidak dibentuk oleh badan legislatief ("unstatutory law"), jaitu hukum jang hidup sebagai konvensi di-badan2 hukum negara seperti parlemen, DPRD dsb. Kedua, termasuk djuga dalam pengertian hukum jang tak tertulis ialah hukum jang timbul karena putusan2 hakim ("judge made law"). Ketiga, hukum kebiasaan jang hidup dalam masjarakat, pendek kata: "hukum adat" didalam arti jang dipakai dalam ilmu pengetahuan hukum.

98